Pages

Ads 468x60px

Rabu, 03 Desember 2014

Mengulas Pendapat KSAU dan Menhan Tentang Rencana Pengambilalihan Kontrol Udara Indonesia Dari Singapura

Sebagian wilayah jalur penerbangan baik penerbangan sipil dan penerbanagan militer di Indonesia masih dibawah kontrol patroli udara Singapura. TNI AU berharap pemerintah Indonesia untuk sesegera mungkin mengambil alih dari negara tetangga tersebut.

Demikian disampaikan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Ida Bagus Putu Dunia di sela-sela peresmian Skuadron Udara F-16 di Lanud Roesmin Nurjadin, Pekanbaru. KSAU menjelaskan untuk saat ini sebagian wilayah jalur udara baik sipil dan militer Indonesia, khususnya Indonesia bagian barat masih harus meminta izin dari Singapura.

Persoalan perihal perizinan ini sebenarnya sudah lama sekali. Dimisalkan jika pesawat Indonesia hendak terbang dari Pekanbaru ingin ke Natuna Provinsi Kepri harus menunggu izin dari Singapura dulu. Begitu pula untuk penerbangan sipil dan militer. Karenanya, diharapkan pemerintah segera mengambil alih pengaturan lalu lintas udara dari Singapura. Karena hal ini adalah menyangkut wilayah keamanan udara di Indonesia.

Berbicara tentang lalu lintas udara, secara umum tidak ada masalah dengan Singapura. Tetapi bila dilihat dari segi pengamanan kedaulautan wilayah hukum Indonesia, terasa rancu bila penegakan hukum di wilayah Indonesia harus meminta izin terlebih fahulu ke kontrol lalu lintas udara Singapura.

Marsekal IB Putu Dunia menuturkan "Kita harapkan sesuai dengan UU yang ada di negara kita, pada tahun 2019 pengaturan lalu lintas udara itu sudah bisa kita ambil alih dari Singapura. Semakin cepat semakin bagus, agar kita lebih mudah melakukan pengamanan kedaulatan udara,".

UU yang dimaksud oleh IB Putu Dunia adalah UU No.1 tahun 2009 yang berada pada: 
1. Pasal 4 (a) yang berbunyi "semua kegiatan penggunaan wilayah udara, navigasi penerbangan, pesawat udara, bandara, pangkalan udara, angkutan udara, keselamatan dan keamanan penerbangan, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lain yang terkait di wilayah Indonesia...".
2. Pasal 5 yang berbunyi "NKRI berdaulat penuh dan ekslusif atas wilayah udara Indonesia".
3. Pasal 6 yang berbunyi "...Pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan penerbangan, pertahanan dan keamanan negara,...".

Namun untuk mengambil alih lalu lintas udara, pemerintah harus mempersiapkan fasilitas pendukungnya. "Tapi bukan berarti kita tidak siap untuk fasilitas pendukung tersebut. Karena untuk mempersiapkan fasilitas itu, harus ada komitmen bersama dengan departemen terkait. Kita ajak bersama menyelesai masalah ini, Kalau ini berhasil, maka tugas pokok kita dalam rangka penegakan hukum akan berjalan maksimal. Sekarang ini sudah banyak pelanggaran udara terjadi di negara kita," tutupnya.

Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan bahwa jika Indonesia memang mampu dalam hal sumber daya dan teknologi, maka akan lebih baik bila Indonesia dapat memegang kontrol lalu lintas udaranya sendiri. Ryamizard pun mengatakan bila pengambilalihan kontrol yang dipegang oleh Singapura itu tidak akan mengganggu hubungan antara Indonesia dan Singapura. Sebab, kontrol itu ditujukan menghindari kecelakaan pesawat. "Disana untuk keselamatan harus diperhatikan. Ada aturan disana yang telah disetujui oleh ICAO. Singapura mengontrol udara hingga 100 mil, nah itu masuk ke wilayah kita".

Ketika ditanyakan bagaimana caranya mengambil alih kontrol itu, mantan KSAD ini mengatakan akan mempersiapkan segala fasilitasnya terlebih dahulu. "Kita harus siapkan fasilitasnya. Kalau kita ambil, kita nggak punya apa-apa, nggak bakalan jalan nantinya," tutur Ryamizard tanpa merinci lebih jauh.
(sumber : detik.com, tabloid aviasi dan tribun news) 

Senin, 01 Desember 2014

Lion Air Resmi Menjadi Pemilik Pesawat ATR Terbanyak Di Dunia


PT Lion Mentari Airlines telah memesan 40 unit pesawat turboprop ATR buatan Italia dan Prancis senilai US$ 1 miliar (Rp 12 triliun). Ini merupakan pembelian tambahan dari 60 unit yang telah dipesan operator Lion Air itu pada tahun 2008 lalu.


Dengan total pembelian 100 pesawat ATR ini, Lion Air menjadi pembeli terbesar pesawat jarak pendek tersebut di dunia. CEO Lion Group Rusdi Kirana mengatakan, pembelian ini dilakukan untuk memenuhi meningkatnya permintaan transportasi udara jarak pendek dan menengah di Indonesia dan wilayah Asia Tenggara.



"Untuk Indonesia, diharapkan pembelian pesawat-pesawat ATR ini bisa melayani wilayah-wilayah terpencil seperti Morotai, Lhokseumawe, Kalimantan dan lainnya, dan dari situ bisa meningkatkan nilai jual daerah-daerah tersebut," tutur Rusdi pada konferensi pers di Roma, Italia, Kamis (27/11/2014) usai penandatanganan kesepakatan pembelian 40 unit pesawat ATR 72-600.



Rusdi menyebutkan pemesanan 40 unit ATR 72-600 tersebut merupakan bagian dari total pembelian 100 unit pesawat turboprop ATR.



"Yang 60 unit sudah kita beli tahun 2008 lalu. Dari jumlah itu, 42 unit sudah kita terima dan sisanya akan datang tiap bulan hingga 2015. Pesawat yang sudah datang kita pakai di Wings Air 30 unit di Indonesia, 11 unit di Malindo Air di Malaysia dan 1 unit di Thai Lion di Thailand," terangnya kepada wartawan.



Nilai kontrak pemesanan 100 unit ATR tersebut mencapai 2 miliar euro. Untuk pembelian ini, Lion Air mendapatkan fasilitas pembiayaan dari bank ekspor impor Prancis COFFACE, bank ekspor impor Italia, SACE serta bank ekspor impor Kanada, EDC.



"Bank ekspor impor ketiga negara itu terlibat karena ATR dimiliki perusahaan Italia-Prancis, sementara mesinnya dibuat Kanada. Porsi pembiayaan dari ketiga bank ini sekitar 85-90%, sedangkan sisa pembiayaan lainnya dari konsorsium bank swasta Prancis, Jerman dan Jepang serta kas internal Lion," tutur Rusdi.



ATR, merupakan joint venture antara perusahaan Italia, Finmeccanica-Alenia Aermacchi dan perusahaan Prancis, Airbus Group. Produk utamanya adalah ATR 42 dan ATR 72. ATR 42 berkapasitas duduk 40-50 penumpang, sedangkan ATR 72 yang akan dibeli Lion Air berkapasitas 74 penumpang yang dioperasikan dua pilot.



Sebelumnya, pada November 2011 Lion Air telah menandatangani pembelian 230 pesawat tipe Boeing 737 MAX dan Boeing 737-900ER. Total dana untuk pembelian ini mencapai US$ 21,7 miliar. Penandatanganan MoU pembelian ini disaksikan langsung oleh Presiden Amerika Serikat Barack Obama di Nusa Dua, Bali.



Lion juga telah memesan 234 unit pesawat Airbus senilai US$ 24 miliar. Pesawat tersebut didatangkan secara bertahap mulai Juli 2013 hingga tahun 2026. Dengan demikian, Lion Air dalam tiga tahun terakhir telah membelanjakan sekitar US$ 48 miliar (Rp 576 triliun) untuk belanja pesawat.

Indonesia Rancang Pesawat Baling-Baling Komersial Terbesar Di Dunia


Pengembangan pesawat terbang di Indonesia kembali bergairah pasca tertidur lama. Industri pesawat terbang nasional sempat mati suri pasca dihentikannya program pesawat baling-baling N250 dan pesawat mesin jet N2130 saat krisis ekonomi 1998. 

Kemudian pada tahun 2000-an muncul ide mengembangkan pesawat perintis bermesin turboprop N219. Pengembangan pesawat ternyata tidak berhenti di N219.

Kali ini, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) mengusulkan pengembangan pesawat komersial atau penumpang baling-baling (propeller) terbesar di dunia. Pesawat yang bernama N2140 ini, nantinya mampu membawa 144 penumpang.

"Kita dapat ide dari pesawat A400 M yang memiliki baling-baling besar. Ini nggak masuk ke pasar jet. Kita kembangkan pesawat yang cocok dengan kondisi Indonesia," kata Kepala Program Pesawat Terbang LAPAN Agus Aribowo di Pusat Teknologi Penerbangan LAPAN, Bogor, Jawa Barat, Jumat (28/11/2014).

A400 M merupakan pesawat angkut militer atau cargo berbadan lebar yang diciptakan oleh Airbus Military. Pengembangan N2140 nantinya akan memakai mesin EuroProp. Ini merupakan mesin terbaru, setelahturboprop, untuk kelas propeller

Meski bukan mesin jet, EuroProp memiliki kemampuan layaknya mesin pesawat jet. Daya jangkau pesawat ini menyerupai daya jelajah pesawat sekelas Boeing 737 hingga Airbus A320.

"EuroProp bisa masuk transonic. Kalau Boeing (Boeing 737) kecepatan 0,78 mach (kecepatan suara), kalau EuroProp 0,7 mach. Ini nggak beda jauh," jelasnya. Keunggulan pesawat N2140 daripada pesawat bermesin jet sekelas Airbus 320 dan Boeing 737 ialah konsumsi bahan bakar. Pesawat baling-baling ini hemat dalam pemakaian BBM sekitar 20-25% daripada pesawat jet. 


Keunggulan sangat bermanfaat bagi maskapai komersial karena selama ini menerima hantaman tingginya biaya avtur. Harga avtur sendiri menyumbang komposisi sekitar 60% dari biaya di industri penerbangan. 

Selain hemat BBM, pesawat N2140 bisa mendarat atau terbang di landasan lebih pendek daripada pesawat jet dengan ukuran serupa. Selain itu, LAPAN merancang kondisi suara atau tingkat kebisingan di dalam kabin pesawat yang sangat rendah meskipun pesawat tidak memakai mesin jet.

"Ini pakai noise active control. Jadi suara engine dikombinasikan dengan suara di dalam cabin agar bisa menghilangkan resonansi sehingga tingkat kebisingan menjadi lemah,” papar Agus.

Pengembangan N2140 merupakan bagian dari loncatan program N219. Konsep awal setelah N219, LAPAN dan PT Dirgantara Indonesia (Persero) akan mengembangkan pesawat N245 dan N270. 

Khusus program N270, pengembangannya diubah karena ada program pengembangan pesawat R80 atau pesawat berpenumpang 80 orang yang memiliki pasar sejenis. Ahasil LAPAN mencari jalan keluar sehingga lahirnya konsep pesawat propeller angkutan penumpang berbadan lebar terbesar pertama di dunia.

Sabtu, 15 November 2014

Ternyata, Hanya Indonesia dan Brunei Yang Airport Tax Dan Tiketnya Masih Terpisah


Pembayaran Passenger Service Charge (airport tax) di negara-negara maju sudah digabung tiket pesawat. Namun untuk Indonesia, pembayaran airport tax masih terpisah dan dilakukan secara manual.

Akibatnya penumpang harus menyiapkan uang pecahan kecil dan meluangkan waktu untuk antre membayar airport tax sebelum naik pesawat.

Pengamat Penerbangan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Arista Admadjati mengungkapkan sistem airport tax yang terpisah tersebut membuat bandara-bandara RI mirip dengan bandara di negara tetangga Brunei Darusalam dan salah satu negara di Afrika. Sistem pembayaran yang terpisah ini dinilai sangat tradisional.

"Sudah menjadi ketentuan IATA (International Air Transport Association) bahwa PCS menjadi satu dengan tiket. Jadi sudah menjadi hal normal hampir di seluruh dunia kecuali di Brenai dan satu negara Afrika," kata Arista, Jumat (14/11/2014).

Arista berpandangan PSC harus masuk ke dalam tiket atau PSC on Ticket karena sesuai ketentuan IATA, sebagai wadah maskapai dunia. Ia pun menyambut baik rencana kebijakan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan yang akan memaksa seluruh airlines dan bandara menerapkan PSC on Ticket.

"Karena untuk memberikan tingkat layanan kepada penumpang jadi tidak perlu antri lama untuk check in di Bandara dengan menyediakan uang recehan," ujarnya.

Rencananya Kemenhub mengeluarkan peraturan terkait kebijakan PSC on Ticket. Peraturan, yang dikeluarkan Kemenhub, akan mewajibkan integrasi tiket pesawat dan airport tax paling lambat 1 Januari 2015.

Rabu, 29 Oktober 2014

Indonesia Defisit 110 Pilot Setiap Tahunnya


Sekolah Penerbangan Indonesia mencetak 400 pilot tiap tahun. Sebanyak 200 pilot berasal dari sekolah penerbangan pemerintah (Curug dan Banyuwangi), sisanya dari sekolah penerbangan swasta. Sementara kebutuhan pilot untuk pesawat dan helikopter mencapai 510 per tahun. Alhasil RI masih defisit 110 penerbang setiap tahun. Defisit ini umum dipenuhi oleh pilot asing.



"Kita butuh 510 pilot per tahun. Dari mana itu semua dapat dipenuhi? STPI ada 2 yang mencetak pilot. STPI Curug mencetak 150 pilot dan Banyuwangi mencetak 50 pilot. Jadi bisa 200 pilot tercetak per tahun sedangkan sekolah swasta 200 pilot per tahun. Kita minus 110 orang," kata Ketua Sekolah Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) Curug Yurlis Hasibuan di Kantor AirAsia, Cengkareng, Tangerang.



Yurlis menerangkan untuk setiap pesawat baru sekelas Airbus 320 ataupun Boeing 737 seri NG membutuhkan 10 penerbang. Sedangkan untuk sebuah pesawat carter atau sewa baru memerlukan 6 penerbang.



Diperlukan waktu sekitar 2 tahun untuk mencetak seorang penerbang siap pakai. "Pendidikan penerbang (praktek) untuk terbang 165 jam. Tambah teori bisa 250 jam," paparnya.



Yurlis menerangkan pilot yang dicetak dari sekolahnya sebanyak 100 orang telah diminta atau di-booking oleh maskapai PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA). Sisanya disalurkan atau ditarik oleh maskapai swasta berjadwal dan non berjadwal. "Sebanyak 150 pilot per tahun yang kita tamatkan. Gurada telah booking 100 pilot. Pilot umumnya memiilih bekerja di Garuda. Saya nggak tahu kenapa mereka pada suka di Garuda," jelasnya.

Jumat, 12 September 2014

Penghapusan Tarif Batas Atas Ditolak Oleh Menteri Perhubungan


Menteri Perhubungan EE Mangindaan menolak permintaan atau usulan dari maskapai RI untuk menghapus tarif batas atas untuk rute-rute gemuk. Mangindaan beralasan pemerintah harus melindungi konsumen. Jika tarif batas untuk rute padat dihapus maka maskapai bisa saja memberi tarif terlalu tinggi sehingga memberatkan pengguna jasa angkutan udara.

"Itu nggak boleh. Kalau dikasih tanpa batas, nanti penumpang komplain," kata Mangindaan di acara Pameran Transportasi di SMESCO Tower, Jakarta, Raby (10/9/201).

Pemerintah akan memberi sanksi tegas kepada maskapai yang berani menaikkan harga tiket di atas tarif batas atas. "Ada sanksinya, ditegur dan sebagainya karena itu sudah peraturan," sebutnya.

Pada kesempatan tersebut, Mangindaan juga menerangkan terkait keputusan kenaikan atau penyesuaian tarif batas atas untuk tiket penerbangan kelas ekonomi. Rencananya usulan kenaikan akan disetujui pada akhir 2014. "Pasti dinaikkan pada akhir tahun ini," jelasnya.

Meski ada kenaikan, namun mangindaan memandang besarannya harus diterapkan secara bertahap. Pemerintah perlu memperhatikan respons masyarakat jika tarif batas atas dinaikkan secara langsung. "Memang jangan terlalu tinggi kalau pun terpaksa bertahap 10% baru berikutnya nanti penumpang kaget, kalau naiknya langsung," ujarnya.

Lampu hijau dari regulator untuk menaikkan tarif batas atas karena maskapai RI saat ini terkena dampak negatif melemahnya kurs rupiah terhadap dolar. Pasalnya mayoritas biaya di maskapai berbentuk valuta asing.

Senin, 21 Juli 2014

Hukuman Berat Untuk Penumpang Yang Merokok Di Dalam Pesawat


Larangan merokok di dalam pesawat dibuat bukan untuk hiasan. Larangan itu demi keselamatan penerbangan, namun Putra Kuncoro tetap merokok dalam penerbangan Citilink Jakarta - Bengkulu Sabtu (19/7) kemarin.


Putra kini tengah diurus oleh pihak keamanan. Namun berdasarkan keterangan yang kami dapat, Minggu (20/7/2014), Putra telah melanggar Pasal 54 UU No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Berikut bunyi aturannya:

Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan dilarang melakukan:

a. Perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan;
b. Pelanggaran tata tertib dalam penerbangan;
c. Pengambilan atau pengrusakan peralatan pesawat udara yang dapat membahayakan keselamatan;
d. Perbuatan asusila;
e. Perbuatan yang mengganggu ketenteraman; atau
f. Pengoperasian peralatan elektronika yang mengganggu navigasi penerbangan.

Tindakan Putra dapat membahayakan keselamatan penerbangan. Jika berdampak buruk maka Putra dapat dikenakan sanksi berupa denda maksimal Rp 2,5 miliar atau kurungan penjara maksimal 5 tahun. Sanksi ini diatur dalam Pasal 412 ayat 6 UU Penerbangan.

Namun pilot dan awak pesawat langsung mengambil tindakan sebelum perbuatan Putra membahayakan penumpang lainnya. Putra langsung diamankan dan diproses, pihak Citilink pun memproses Putra ke pihak berwenang.

Putra dipergoki merokok di toilet pesawat sehingga pilot melapor ke Bandara untuk segera melakukan pengamanan. Ancaman pidana pun menunggu Putra. 

Jadi, Apakah Anda masih ingin membahayakan keselamatan orang lain hanya karena ingin merokok di dalam pesawat?

Minggu, 20 Juli 2014

Semakin Padatnya Bandara Soekarno-Hatta


Bandara Internasional Soekarno-Hatta (Soetta) terkenal sebagai salah satu bandara tersibuk di dunia sehingga sering ada antrean/kemacetan/delay di udara.


Namun kini kemacetan udara sudah sedikit berkurang setelah adanya peningkatan Improved Runway Capacity (IRC) dari hanya 64 pesawat menjadi 72 pesawat per jam yang naik dan turun di landasan Bandara Soetta.

Direktur Operasi Kebandarudaraan PT Angkasa Pura II (AP II) Endang A Sumiarsa mengatakan sejak 26 Juni 2014, AP II telah meningkatkan IRC-nya dari 64 menjadi 72 pesawat per jam. "Artinya dari sebelumnya jumlah penerbangan setiap 1 jam Bandara Soetta mencapai 64 pesawat, sekarang ini sudah 72 pesawat," kata Endang, Jumat (18/7/2014).

Endang mengatakan, peningatan IRC tersebut dengan melakukan perbaikan dalam reposisi parkir pesawat sehingga terpehuninya Aircraft Safety Clearance. "Selain itu kita juga melakukan upgrade kapasitas parkir pesawat udara-re-design taxi routing AP II juga sedang melakukan penambahan check in counter baru di Terminal 2E di Bandara Soetta sebanyak 10 counter," ungkapnya.

Senior General Manager Kantor Cabang Utama PT Angkasa Pura II Bandara Soekarno Hatta, Bram B Tjiptadi menambahkan, dengan peningkatan IRC menjadi 72, membuat tingkat antrean pesawat yang ingin mendarat atau terbang di Bandara Soetta jauh lebih berkurang. "Dari awalnya kemacetan pesawat mencapai 150 pesawat turun menjadi 50 pesawat, hal ini tentunya berdampak besar bagi aktivitas penerbangan di Bandara," tutupnya.

Selasa, 15 Juli 2014

Tragedi Pengenaan Pajak Barang Mewah Tas Mahal Dan Suku Cadang Pesawat


Beredar kabar Menperin ingin membebaskan PPnBM tas merk papan atas yang dikonsumsi hanya oleh sebagian kecil masyarakat Indonesia. Pertanyaan saya, apakah suku cadang pesawat udara masuk pada kategori barang mewah, sehingga harus dikenakan PPnBM? Apakah suku cadang pesawat udara perlu dikendalikan pola konsumsinya atas barang kena pajak yang tergolong mewah (Penjelasan Pasal 5 ayat 1)? Sementara industri suku cadang pesawat udara dalam negeri yang diakui oleh pabrikan pesawat udara internasional belum tumbuh dan belum perlu diproteksi. 

Penjualan tas merk papan atas tidak akan terpengaruh oleh besarnya PPnBM karena berapapun harga tas merek papan atas, pasti dibeli karena penggemarnya tertentu dan masyarakat kelas atas yang uangnya tidak berseri. Sementara untuk pesawat udara yang merupakan angkutan umum yang diperlukan oleh publik dan hampir 99% suku cadangnya masih impor dikenakan PPnBM. 

Mari kita renungkan apa yang ada dipikiran Menperin terkait dengan keinginannya menghapus PPnBM tas papan atas, yang hanya dikonsumsi oleh segelintir perempuan Indonesia ? Kalaupun tas ini dikenakan PPnBM 200% pun, tas papan atas ini masih tetap diburu oleh pecintanya. Sementara pengenaan PPnBM (5%-12,5%) terhadap suku cadang pesawat udara akan menyebabkan beban maskapai penerbangan domestik semakin berat dan sulit berkompetisi di industri penerbangan dunia atau bahkan hanya ASEAN.

Perlunya Tidaknya Pengenaan PPnBM 

Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang PPN 1984, terdapat dua jenis objek PPnBM, yaitu:


a. Penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya; dan 
b. Impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.

Pertimbangan pengenaan PPnBM ini atas barang mewah, sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU PPN tahun 1984 yang kemudian direvisi menjadi UU No. 42 tahun 2009, adalah:


1. Perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dan konsumen yang berpenghasilan tinggi;
2. Perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Pajak yang tergolong mewah; 
3. Perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional; dan
4. Perlu untuk mengamankan penerimaan negara.

Tas bermerek papan atas sesuai dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf b, yaitu: impor barang kena pajak yang tergolong mewah harus dikenakan PPnBM. Alasannya tas bermerek papan atas pantas dikenakan PPnBM karena 'perlu dikendalikan pola konsumsinya atas barang kena pajak yang tergolong mewah, perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional dan perlu untuk mengamankan penerimaan NegaraÓ sesuai dengan penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU PPN tahun 1984.

Pengenaan PPnBM dan depresiasi Rupiah terhadap dolar Amerika membuat harga suku cadang pesawat menjadi semakin mahal. Belum lagi maskapai masih terbebani oleh harga avtur yang terus meningkat. Semua pengeluaran itu dibayar oleh maskapai penerbangan dengan mata uang dolar Amerika, sementara pendapatannya dalam Rupiah. Akibatnya kondisi cash flow atau arus dana tunai maskapai penerbangan sekarat.

Saat ini jika sebuah maskapai penerbangan bisa mendapatkan margin keuntungan sekitar 3% sudah terbilang istimewa. Dengan beban PPnBM, biaya suku cadang, biaya avtur dan sebagainya kemungkinan margin menjadi negatif. Untuk menyiasati besarnya biaya operasional pesawat, patut diduga maskapai penerbangan akan melakukan banyak penghematan, khususnya di biaya suku cadang supaya tidak bernasib seperti Batavia Air, Merpati dan Tiger Mandala.

Penghematan di biaya suku cadang dapat dilakukan melalui pembelian suku cadang berharga miring dan biasanya masuk golongan 'bogus part' atau suku cadang rekondisi atau 'KW' yang tidak disertifikasi oleh pabrikan pesawat udara. Jika ini yang terjadi maka keselamatan penerbangan sipil akan dikorbankan. 

PPnBM tidak lazim dikenakan di suku cadang pesawat terbang. Di Negara ASEAN hanya Indonesia yang masih mengenakan PPnBM. Ini berakibat maskapai penerbangan Indonesia akan sulit bersaing dengan maskapai penerbangan negara-negara ASEAN lain saat diberlakukannya ASEAN Open Sky Policy pada 1 Januari 2015 mendatang.

Langkah Pemerintah 

Pertama lupakan program penghapusan PPnBM tas bermerek papan atas, demi keadilan. Bahkan kalau bisa dinaikan besaran PPnBMnya. Kenaikan PPnBM tas bermerek papan atas tidak akan mengurangi volume penjualan karena target konsumennya memang sangat terbatas.

Kedua hapus PPnBM untuk suku cadang pesawat udara karena sebagai negara kepulauan, publik sangat membutuhkan angkutan udara yang terjangkau dan aman. Jadi pada akhirnya Pemerintah harus berperan aktif membantu mengurangi beban biaya operasi maskapai penerbangan supaya maskapai penerbangan nasional dapat bersaing di kancah ASEAN Open Sky 2015.

PPnBM suku cadang impor dapat dikenakan kembali ketika industri suku cadang pesawat dalam negeri sudah mulai tumbuh dan perlu dipercepat pertumbuhannya. Intinya PPnBM hanyalah sebuah instrument untuk menggairahkan industri. Jangan samakan tas bermerk papan atas dengan suku cadang, seperti nose gear extension and retraction, pump hydraulic electric driven system dan sebagainya.

Sebagai penutup abaikan usulan konyol Menperin karena bertentangan dengan kampanye yang selama ini dilakukan oleh beberapa Kementrian termasuk Kementrian Perindustrian, yaitu cintailah produk-produk dalam negeri. 

Jumat, 04 Juli 2014

Seberapa Berat Beban Sebuah Maskapai Penerbangan Di Indonesia Saat Ini ?


Dunia penerbangan sudah semakin sulit dipisahkan dari kehidupan manusia modern. Salah satu tolok ukur adalah kuatnya perekonomian suatu negara dapat dilihat dari kuatnya maskapai penerbangan negara tersebut masuk ke pasar dunia. Semakin luas penetrasi rute dan kualitas pelayanan maskapai tersebut, maka bisa dikatakan bahwa negara tersebut semakin signifikan perannya di kancah perekonomian dunia.



Dalam lima (5) tahun terakhir, Indonesia dengan 250 juta penduduk, seharusnya berpeluang besar untuk menjadi raksasa penerbangan sipil. Paling tidak di wilayah regional ASEAN. Penambahan pesawat baru yang signifikan jumlah dan jenisnya dalam 3 tahun belakangan ini, seharusnya bisa menjadi modal awal untuk menjadi salah satu penguasa dirgantara regional 5 tahun mendatang. Sayang dukungan Pemerintah tidak kondusif, membuat peluang itu belum terwujud.



Secercah sinar itu tampaknya mulai pudar ketika tahun 2013 Batavia Air dinyatakan bangkrut dan menutup operasinya. Disusul tutupnya Star Aviation, Merpati Nusantara dan terakhir Mandala Tiger yang resmi tutup operasi 1 Juli 2014. Selain penutupan tersebut, beberapa maskapai yang tersisa, termasuk Garuda Indonesia, merugi di kuartal 1 hingga bulan Juni 2014 ini.



Kondisi tersebut membuat kita semua menjadi ragu, apakah maskapai Indonesia siap menjadi macan penerbangan sipil regional (ASEAN)? Terlebih mulai 1 Januari 2015 akan berlaku ASEAN Open Sky Policy sebagai bagian dari Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Apa yang sebenarnya terjadi? Salahnya di mana dan apa penyebabnya? Kemudian langkah apa yang harus dilakukan untuk menghindari keterpurukan total industri penerbangan sipil nasional di tengah dimulainya perdagangan bebas ASEAN.



Persoalan Mendasar Industri Penerbangan Nasional 



Selain kondisi makro ekonomi Indonesia yang terus memburuk sejak tahun 2013, kurangnya dukungan serta peran Pemerintah sebagai regulator semakin memperburuk kondisi keuangan makapai penerbangan sipil nasional yang memang margin keuntungannya tipis (3%). Belum lagi resesi Eropa dan Amerika yang juga tak kunjung pulih sepenuhnya.



Kejatuhan nilai Rupiah yang berkepanjangan membuat biaya operasi, perawatan, leasing, asuransi pesawat yang semua harus dibayar dengan US Dollar membuat pendapatan dalam rupiah tergerus semakin parah. Belum lagi harga avtur yang juga terus meningkat membuat semua maskapai nasional sesak napas.



Dalam situasi seperti itu, seharusnya Pemerintah berperan untuk dapat mengurangi kerugian maskapai sehingga dapat terus beroperasi melayani publik dengan baik, misalnya melalui kebijakan insentif fiskal, penataan regulasi yang selama ini memberatkan maskapai penerbangan, pembangunan infrastruktur penerbangan (bandara dan navigasi) dsb. Namun tampaknya upaya itu nyaris tidak ada.


Pertama, Pemerintah harus menghilangkan berbagai pungutan resmi tetapi tidak lazim terjadi di industri penerbangan, khususnya di ASEAN, sehingga secara apple to apple maskapai kita dapat bersaing di wilayah regional bahkan dunia. Misalnya, saat ini maskapai nasional sangat terbebani dengan bea masuk pembelian suku cadang sebesar 5-12,5%. Sementara hampir semua Negara di ASEAN, bea masuk nol persen. Dari sisi ini saja maskapai nasional akan sulit bersaing saat ASEAN Open Sky diberlakukan. 



Kedua, pungutan resmi lain yang harus dihadapi maskapai penerbangan sipil saat ini adalah menanggung semua biaya yang dikenakan negara kepada PT Pertamina sebagai penjual avtur ke maskapai penerbangan, seperti biaya iuran Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas sebesar 0,3% dari harga avtur per liter sesuai perintah Peraturan Pemerintah (PP) No. 1 Tahun 2006 tentang Besaran dan Penggunaan Iuran Badan Usaha Dalam Kegiatan Usaha Penyediaan dan Pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa. 



Avtur sebagai salah satu komponen biaya terbesar di sistem operasi maskapai penerbangan (20%-40% dari total biaya) seharusnya tidak dibebani lagi dengan berbagai macam biaya tambahan karena tanpa itupun, maskapai penerbangan sudah sesak napas dengan semakin dalamnya depresiasi Rupiah terhadap USD.



Mahalnya harga avtur di Indonesia dibandingkan, misalnya di Singapura US$ 78 sen tetapi di Jakarta US$ 91 sen, juga menjadi beban tambahan maskapai penerbangan. Tingginya harga avtur Indonesia disebabkan oleh banyaknya beban biaya avtur di hulu dan hilir tersebut. Harga avtur di hulu lebih tinggi karena patut diduga Pertamina membeli avtur melalui pedagang, tidak langsung ke NOC (National Oil Company).



Ketiga, biaya tambahan seperti biaya konsesi (throughput fee) sebesar 0,3%/liter harga avtur (sekitar Rp 30-Rp 45/liter) yang dikenakan oleh pengelola bandara kepada PT Pertamina atas penggunaan fasilitas bandara untuk mengangkut avtur, sebenarnya kurang tepat karena banyak pipa avtur milik bandara yang sudah berkarat dan tidak digunakan lagi. Jadi avtur disalurkan ke pesawat menggunakan truk tanki milik PT Pertamina sendiri, bukan pipa milik pengelola bandara. Namun demikian pengelola bandara masih mengenakan biaya ke PT Pertamina. 



Keempat, selain pungutan-pungutan di atas, maskapai penerbangan sipil nasional juga dirugikan dengan tidak optimalnya kerja para regulator di Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (DJU) Kementerian Perhubungan. Untuk ekspansi jalur internasional, maskapai kita terkendala dengan posisi DJU yang belum keluar dari Community List (larangan terbang) Uni Eropa dan masuk di Kategori 2 Federal Aviation Administration Amerika Serikat (larangan terbang).



Pekerjaan Rumah Maskapai Penerbangan Nasional 


Sesuai dengan ICAO Policies on Charges for Airport and And Navigation Services, Ninth Edition-2012-Doc 9082-Section 2, fuel (avtur) merupakan bagian yang dikecualikan untuk dikenakan konsesi oleh bandara, seperti throughput fee. Kalaupun pengelola bandara mengenakan biaya (apapun namanya) ke PT Pertamina, tidak boleh dibebankan ke harga avtur. Harus dicari biaya konsesi bentuk lain yang tidak membebani maskapai.



Selain itu PT Pertamina harus bisa menjual harga avtur yang tidak berbeda jauh dengan harga avtur di negara lain, misal pembeliannya harus langsung ke NOC bukan ke traders. Negara harus menjamin bahwa PT Pertamina mendapatkan harga impor avtur yang kompetitif. Lalu pengenaan biaya tambahan untuk BPH Migas harus dihilangkan karena kalau tidak akan memberatkan Pertamina atau bubarkan saja BPH Migas karena tidak ada gunanya kecuali memungut kiri kanan. 



Intinya berbagai pungutan resmi yang menghambat upaya untuk bersaing dengan maskapai penerbangan sipil negara lain harus dihilangkan supaya maskapai kita siap di ASEAN Open Sky 2015. Kurangi semua pungutan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi di industri penerbangan nasional.

Rabu, 02 Juli 2014

2040, Kapasitas Bandara Soetta Akan Naik 200%


Bandara International Soekarno-Hatta (Soetta), Tangerang, Banten memiliki masterplan untuk pengembangan terminal dan runway (landasan) baru yang telah ada sejak zaman Presiden Soeharto pada tahun 1986.


Dalam rancangan terbaru, bandara tersibuk dan terbesar di Indonesia ini disiapkan bisa menampung 128 juta penumpang per tahun atau naik 200% dari kapasitas saat ini 43 juta penumpang per tahun.

Bandara Soetta saat ini memiliki 3 terminal yaitu terminal 1, 2, dan 3, yang didukung oleh 2 runway. Pada masterplan era Presiden Soeharto, Bandara Soetta dirancang punya 4 terminal dan 4 runway.

Kapasitas 3 terminal saat ini mampu menampung hingga 43 juta orang per tahun. Kapasitas ini akan terus meningkat seiring renovasi terminal 1 dan 2. Kapasitas maksimal semua terminal jika telah selesai dikembangkan, maka bisa menampung 128 juta penumpang per tahun. "Ultimate total sampai 128 juta penumpang per tahun," kata Corporate Secretary PT Angkasa Pura II (Persero) (AP II) Daryanto, Selasa (01/07/2014).

Kapasitas maksimal tersebut akan tercapai pada tahun 2040. Saat itu, Bandara Soetta memasuki kapasitas maksimal alias ultimate sehingga sudah tidak bisa ditambah lagi daya tampungnya. Pada tahun itu juga, Bandara Soetta direncanakan harus memiliki 4 runway alias landasan pacu.

Saat ini fasilitas runway yang terbangun baru sebanyak 2 unit dengan panjang 3.000 meter dan lebar 60 meter.

Dihubungi secara terpisah, pengamat penerbangan Dudi Sudibyo menerangkan di negara maju pengembangan baru sebuah bandara dilakukan setiap 10 tahun sekali. 

Dudi mengambil contoh Bandara Incheon Korea Selatan. Bandara itu dibangun untuk masa 10 tahun ke depan. Setelah bandara beroperasi, selanjutnya bandara baru dipersiapkan untuk dibangun kembali. "Ambil contoh antara lain Incheon. Itu dibangun untuk 10 tahun, setelah itu bangun dan sekarang sudah dibangun bandara baru," jelasnya.

Dudi menjelaskan pembangunan bandara baru ke depan juga wajib mengikuti peraturan dan masterplan. Langkah ini dibutuhkan agar tidak terulang lagi peristiwa kepungan area pemukiman di eks Bandara Kemayoran Jakarta dan Bandara Soetta sehingga menyulitkan pengembangan bandara. Maka operator bandara, regulator dan pemerintah daerah harus duduk bersama menentukan peta pengembangan bandara dan area sekitarnya.

"Seharusnya Bandara Soekarno-Hatta tidak ada pemukiman, tidak pabrik sekian kilo meter dari bandara. Sekarang lihat pagar pemukiman dan pabrik sudah mendekati batas pagarnya bandara," tegasnya.

Jumat, 20 Juni 2014

Ruang Udara Dan Wilayah Udara Nasional (Bagian 1)

Prinsip Kedaulatan Di Ruang Udara


Prinsip pokok kedaulatan negara di wilayah udara telah diatur dalam Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional (Convention On International Civil Aviation, signed at Chicago on December 7, 1944) yang berbunyi "the contracting states recognizing that every state has complete and exclusive sovereignty over the airspace above is territory". Ketentuan ini mengatur salah satu tiang pokok hukum internasional yang mengatur ruang atau wilayah udara (airspace).

Prinsip pokok kedaulatan negara di ruang udara sebagaimana dimaksud Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 tersebut dinyatakan dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia.

Pada penjelasan Pasal 5 UU No. 1 Tahun 2009 dinyatakan bahwa sebagai negara berdaulat, Indonesia memiliki kedaulatan penuh dan utuh di wilayah udara Republik Indonesia yang sesuai dengan ketentuan Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional. Ketentuan dalam pasal ini hanya menugaskan mengenai kewenangan dan tanggung jawab negara Republik Indonesia untuk mengatur penggunaan wilayah udara yang merupakan bagian dari wilayah dirgantara Indonesia.


Sifat kedaulatan yang utuh dan eksklusif dari negara di wilayah udara nasional tersebut berbeda misalnya dengan sifat kedaulatan Negara di laut wilayah. Karena sifatnya yang demikian, maka di ruang udara nasional tidak dikenal hak lintas damai (innocent passage) pihak asing seperti terdapat di laut teritorial suatu negara. Ruang udara nasional suatu negara sepenuhnya tertutup bagi pesawat udara asing, baik sipil maupun militer. Hanya dengan ijin negara kolong terlebih dahulu, baik melalui perjanjian multilateral ataupun bilateral, maka ruang udara nasional dapat dilalui oleh pesawat udara asing.

Sifat tertutup yang demikian itu dapat dipahami mengingat ruang udara sebagai media gerak sangatlah rawan ditinjau dari segi pertahanan keamanan negara kolong. Karena serangan-serangan dengan menggunakan pesawat udara banyak memiliki keuntungan dan kemudahan, seperti sifatnya yang cepat (speed), jangkauan (range) yang luas, pendadakan (surprise), penyusupan (penetration) yang dapat dilakukan dengan optimal. Hal inilah yang mendorong setiap negara mengenakan standar penjagaan ruang udara nasionalnya secara ketat dan kaku. Dari prinsip kedaulatan negara di wilayah udara sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 di atas, ada 2 hal yang penting untuk dilakukan pembahasan dan pemahaman, yaitu: (1) Complete and exclusive (penuh dan utuh), dan (2) Airspace (ruang udara/wilayah udara).

Dari kata complete and exclusive yang terdapat dalam Pasal 1 ini menimbulkan pertanyaan: "Apakah kedaulatan negara di wilayah udaranya dapat dilaksanakan secara penuh dan utuh tanpa memperhatikan kepentingan negara-negara lain?". Pada prinsipnya, setiap negara itu di dalam wilayah kedaulatannya mempunyai hak untuk menjalankan dan memaksakan serta menyelesaikan perkara-perkara yang terjadi atas orang-orang, benda-benda dan berbagai permasalahan lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan nasionalnya. Namun kekuasaan tersebut tidaklah begitu absolut sehingga tidak dapat begitu saja mengesampingkan kepentingan negara-negara lain.

Oleh karena itu, kedaulatan yang penuh dan utuh tersebut juga harus menghormati ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam hukum internasional sebagai kesepakatan bangsa-bangsa. Sebagai contoh, "Bagaimana mengambil tindakan koreksi atas pelanggaran wilayah udara dan bagaimana selanjutnya tata cara dalam melakukan penyergapan?". Dalam hal ini harus memperhatikan ketentuan hukum internasional, khususnya Attachment dari Annex 2 Rule of the Air. Dalam hal ini dikenal pula adanya asas pertimbangan kemanusiaan yang mendasar (elementary considerations of humanity), dimana secara tegas telah dinyatakan sebagai asas yang selalu harus melandasi tindakan-tindakan negara dalam menghadapi pelanggaran wilayah udaranya oleh pesawat udara sipil asing. Sebagaimana telah diketahui bahwa pelanggaran wilayah udara (aerial instrusion) adalah suatu keadaan dimana pesawat udara lain tanpa ijin sebelumnya dari negara yang wilayahnya dimasuki pesawat udara asing tersebut. 

Senin, 16 Juni 2014

Definisi dan Sumber Hukum Udara

A. Definisi

Definisi dari beberapa ahli hukum udara adalah sebagai berikut:
1. Diederiks-Verschoor 
Hukum udara adalah hukum dan regulasi yang mengatur penggunaan ruang udara yang bermanfaat bagi penerbangan, kepentingan umum, dan bangsa-bangsa di dunia.
2. Nicholas de B. Katzenbach
Hukum udara internasional adalah sekumpulan peraturan-peraturan yang disusun tidak hanya oleh suatu negara, tetapi bersumberkan kepada perjanjian antara dua negara atau lebih. Dan perjanjian ini dapat tertulis atau terjadi karena adanya suatu pengertian bersama (common understanding) yang telah dikembangkan oleh sejarah sehingga menjadi semacam suatu kebiasaan yang umum diterima.
3. E. Pepin
Hukum udara adalah peraturan-peraturan mengenai sirkulasi penerbangan dan juga penggunaan pesawat udara serta hak dan kewajiban yang timbul karenanya.
4. Goedhuis
Hukum udara adalah hukum yang mengatur suatu situasi khusus dari kehidupan manusia dengan adanya rangkaian peraturan-peraturan yang berusaha menertibkan segala kejadian di ruang udara (air space) serta mengatur cara-cara memanfaatkan ruang udara sebagai objek bagi kepentingan penerbangan.
5. Prof. Priyatna Abdurrasyid
Hukum udara adalah segala macam undang-undang, peraturan-peraturan dan kebiasaan mengenai penerbangan serta segala hak dan kewajiban manusia sebagai pelaksanaannya yang disusun berdasarkan kepada perjanjian, kebiasaan dan hukum yang berlaku di antara negara dalam soal penerbangan (conventions, treaties, customary laws, etc.)
6. Prof. Suherman
Hukum udara adalah seluruh ketentuan-ketentuan yang mengatur ruang udara dan penggunaannya untuk penerbangan.

Sedangkan definisi Hukum Penerbangan menurut A. Ambrosini, Hukum Penerbangan (Aeronautical Law) adalah bagian atau cabang dari hukum yang mempelajari mengenai semua hubungan-hubungan baik bersifat publik maupun privat, nasional maupun internasional yang timbul dari navigasi udara dan yang menentukan aturan-aturan hukum.


Dari beberapa definisi yang disebutkan diatas, dapat ditarik suatu definisi hukum udara secara umum. Hukum udara merupakan keseluruhan norma-norma hukum yang mengatur penggunaan ruang udara, khususnya mengenai penerbangan, penggunaan pesawat-pesawat terbang dalam peranannya sebagai unsur yang diperlukan bagi penerbangan. Dengan kata lain, penerbangan merupakan objek kajian dalam hukum udara karena dalam kegiatannya menggunakan ruang udara sebagai medianya.

B. Sumber Hukum Udara

1. Sumber Hukum Udara Internasional

Sebagaimana diketahui pada Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional yaitu sumber-sumber hukum pada Hukum Internasional, dalam pasal tersebut yang menjadi sumber Hukum Internasional yaitu:
a. Konvensi-konvensi Internasional, 
b. Kebiasaan-kebiasaan Internasional,
c. Prinsip -prinsip hukum yang diakui oleh bangsa beradab,
d. Yurisprudensi.

Oleh karena itu tidak hanya Hukum Internasional, akan tetapi Hukum Udara juga mempunyai sumber Hukum Udara (air law sources) dapat besumber pada Hukum Internasional maupun Hukum Nasional. Sesuai dengan Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional mengatakan: internasional custom as evidence of a general practice, accepted as law. Sumber Hukum Udara Internasional dapat berupa multilateral maupun bilateral sebagai berikut:

a. Multilateral
Sumber Hukum Udara Internasional yang bersifat multilateral antara lain terdapat dalam Konvensi Paris 1919 dan konvensi-konvensi yang lain, sedangkan Hukum Udara perdata internasional antara lain Konvensi Montreal 1971, Konvensi Den Haag 1930 dan lain-lain. Di samping konvensi yang bersifat multilateral juga yang bersifat bilateral. 

b. Bilateral Air Transport Agreement
Pada saat ini Indonesia mempunyai perjanjian angkutan udara timbal balik (bilateral air transport agreement) tidak kurang dari 67 negara yang dapat digunakan sebagai sumber Hukum Udara nasional dan internasional. 

c. Hukum Kebiasaan Internasional
Menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, Hukum Kebiasaan Internasional juga merupakan salah satu sumber Hukum Internasional. Di dalam Hukum Udara Kebiasaan Internasional. Namun demikian, peran Hukum Kebiasaan Internasional tersebut semakin berkurang dengan adanya konvensi internasional, mengingat Hukum Kebiasaan Internasional kurang menjamin adanya kepastian hukum. Pasal 1 Konvensi Paris 1919, merupakan salah satu Hukum Kebiasaan Internasional dalam Hukum Udara Internasional. Namun demikian, pasal tersebut telah diakomodasi di dalam Konvensi Havana 1928 dan Pasal 1 Konvensi Chicago 1944. 

Dalam perkembangan teknologi, tindakan suatu negara dapat merupakan Hukum Kebiasaan Internasional tanpa adanya kurun waktu tertentu. Hal ini telah dilakukan oleh Amerika Serikat dengan menetapkan Air Defence Identification Zone (ADIZ). Air Defence Identification Zone (ADIZ) ini adalah penunjukan ruang udara khusus dimensi tertentu di mana semua pesawat udara diharuskan mematuhi identifikasi khusus atau prosedur tambahan yang berkenaan dengan lalu lintas udara. Yang kemudian tindakan Amerika Serikat tersebut diikuti oleh Canada dengan menentukan Canadian Air Defence Identification Zone (CADIZ) yang kemudian diikuti oleh negara-negara lain. Di dalam Hukum Laut Internasional juga dikenal adanya Hukum Kebiasaan sebagai salah satu sumber hukum. 

d. Prinsip-prinsip Umum Hukum (General Principles of Law)
Selain Hukum Kebiasaan Internasional dan konvensi internasional sebagaimana dijelaskan di atas, asas umum hukum (general principles recognized by civilized nations) juga dapat digunakan sebagai sumber Hukum Udara. Salah satu ketentuan yang dirumuskan di dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional adalah “general principles or law recognized by civilized nations” sebagai asas-asas yang telah diterima oleh masyarakat dunia dewasa ini, baik Hukum Udara Perdata maupun Hukum Udara Publik. Asas-asas atau prinsip-prinsip tersebut antara lain: Prinsip bonafide (itikad baik atau good faith), pacta sunt servanda, nebis in idem, equality rights, tidak boleh saling intervensi kecuali atas persetujuan yang bersangkutan dan prinsip non lequit,

e. Ajaran Hukum (Doctrine)
Ajaran hukum (doctrine) di dalam Hukum Internasional juga dapat digunakan sebagai salah satu sumber Hukum Udara. Di dalam Common Law System, atau Anglo Saxon System dikenal adanya ajaran hukum mengenai pemindahan resiko dari pelaku kepada korban. Menurut ajaran hukum tersebut, perusahaan penerbangan yang menyediakan transportasi umum bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh korban. Tanggung jawab tersebut berpindah dari korban (injured people) kepada pelaku (actor). Demikian pula ajaran hukum mengenai bela diri. Menurut ajaran hukum bela diri, suatu tindakan disebut sebagai bela diri bila tindakan tersebut seimbang dengan ancaman yang dihadapi. Oleh karena itu pesawat udara sipil yang tidak dilengkapi dengan senjata, tidak boleh ditembak karena pesawat udara sipil tidak ada ancaman yang membahayakan. Di samping itu, penembakan pesawat udara sipil juga tidak sesuai dengan semangat Konvensi Chicago 1944 yang mengutamakan keselamatan penumpang, awak pesawat udara, pesawat udara maupun barang-barang yang diangkut 

f. Yurisprudensi
Menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, yurisprudensi juga merupakan salah satu sumber hukum. Ketentuan demikian juga berlaku terhadap Hukum Udara, baik nasional maupun internasional. Banyak kasus sengketa yang berkenaan dengan Hukum Udara, terutama berkenaan dengan tanggung jawab hukum perusahaan penerbangan terhadap penumpang dan atau pengirim barang maupun terhadap pihak ketiga. Di Indonesia terdapat paling tidak terdapat dua macam yurisprudensi yang menyangkut Hukum Udara Perdata, masing-masing gugatan Ny. Oswald terhadap Garuda Indonesian Airways dalam tahun 1961 dan gugatan penduduk Cengkareng terhadap Japan Airlines (JAL) dalam tahun 2000. Dalam kasus penduduk Cengkareng melawan Japan Airlines mengenai tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga, sedangkan kasus Ny. Oswald melawan Garuda Indonesian Airways mengenai ganti rugi non fisik. Pada prinsipnya, keputusan pengadilan tersebut hanya berlaku terhadap para pihak, tetapi seorang hakim boleh mengikuti yurisprudensi yang telah diputuskan oleh hakim sebelumnya (The decision of the court has no binding force exept between the parties and in respect of that particular cases) artinya keputusan Mahkamah Internasional tidak mempunyai kekuatan mengikat, kecuali bagi pihak-pihak yang bersangkutan tertentu itu. 

2.Sumber Hukum Udara Nasional
Sumber Hukum Udara nasional terdapat di berbagai peraturan perundang-undangan nasional sebagai implementasi Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), juga Perjanjian Angkutan Udara Internasional (bilateral air transport agreement) di mana Indonesia sebagai pesertanya merupakan sumber hukum sebagai pelaksanaan undang-undang tersebut juga telah dikeluarkan berbagai peraturan penerbangan, baik yang menyangkut keselamatan maupun ekonomi transportasi udara, pada tataran Menteri maupun tataran Direktur jenderal Perhubungan Udara.
 

Sample text

Sample Text

Sample Text