Kementerian Perhubungan memberikan
sanksi yang tegas terhadap pilot dua maskapai penerbangan swasta,
Sriwijaya Air dan Lion Air, karena mengalami insiden di Bandara Juanda
Surabaya. Kementerian Perhubungan merasa perlu memberikan sanksi tegas
terhadap pilot kedua maskapai penerbangan karena insiden pendaratan yang
dilakukan keduanya cukup fatal.
Insiden pertama, Sriwijaya Air mengalami insiden pendaratan di Bandara Juanda pada Selasa (28/01/2014). Dalam insiden itu, pesawat Boeing 737 yang dioperasikan oleh Sriwijaya Air dari Balikpapan tujuan Surabaya mendarat di taxiway paralel di sebelah selatan, bukan di landasan pacu bandara.
Pada kasus Sriwijaya Air ini, kapten
penerbangan memberikan kuasa kepada kopilot untuk mendaratkan pesawat.
Apesnya, kopilot mendaratkan pesawat tidak pada landasan pacu, melainkan
di taxiway paralel sebelah selatan, sehingga menjadi insiden pendaratan
yang cukup serius meskipun tidak terjadi kerusakan pada pesawat maupun
adanya korban luka. Akhirnya kapten dan kopilot dilarang terbang selama
beberapa waktu.
“Kalau pesawat mau landing di runway 28 fasilitasnya VOR approach yang
coursenya 281 derajat. Jadi kalau ada angin crosswind dari kanan
lurusnya di taxiway south pararel runway 28. Taxiway south pararel kalau
dari atas jarak pandang 5 mile mirip runway,” tutur seorang sumber yang tahu soal peristiwa ini.
Untuk insiden kedua dialami oleh pesawat
milik maskapai penerbangan Lion Air pada Minggu (2/2/2014) di Bandara
Juanda. Pada kasus ini kapten juga memberikan tugas kepada kopilot untuk
menerbangkan pesawat hingga mendarat. Namun akhirnya pesawat mengalami hard landing di Bandara Juanda yang menyebabkan pesawat rusak dan beberapa penumpang mengalami luka.
Akibat kejadian hard landing itu, kapten
dan kopilot juga mendapatkan sanksi tegas dari Kementerian Perhubungan.
“Yang terbang itu kopilot. Itu boleh. Kalau ada apa-apa, kapten yang
tanggung jawab. Si kapten boleh beri hak ke kopilot, kalau dia sudah miliki jam terbang tertentu. Si kapten, kita downgrade
jadi kopilot dan si kopilot yang lakukan kesalahan fatal itu di-PHK,”
kata Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan.
Sementara itu, terkait insiden pecahnya
ban pesawat Boeing 737-800 milik Garuda Indonesia di Bandara Juanda pada
Minggu (2/2/2014), regulator masih akan melakukan investigasi terlebih
dahulu. Berdasarkan informasi awal, ban pesawat sudah pecah saat pesawat
lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta.
Kapuskom Kemenhub Bambang S. Ervan mengatakan, pesawat Boeing 737 seri 800 itu mengangkut 95 penumpang, termasuk 2 bayi, dijadwalkan mendarat pukul 15.00 WIB. Namun ketika di perjalanan, kapten pilot Rudi Johor memberitahu ke petugas tower Bandara Juanda bahwa terjadi masalah dengan ban kiri belakang saat pesawat lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta. Mendapat kabar itu, tim dari Bandara Juanda mengerahkan unit pemadam kebakaran dan ambulans untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk dari pesawat. Runway pun diblokir. Namun akhirnya pesawat berhasil mendarat selamat.
Timbul pertanyaan, mengapa salah satu pilot dalam kasus tersebut (sudah mendapat sanksi) diijinkan untuk terbang? Siapa yang patut untuk disalahkan?