Pages

Ads 468x60px

Minggu, 16 Maret 2014

Sejarah Bandara Halim Perdanakusuma

Lapangan Terbang Cililitan (sebelum namanya diganti Halim Perdanakusuma) dibangun oleh Pemerintah Kolonial Belanda tahun 1920-an dan merupakan lapangan terbang alternatif selain Lapangan Terbang Kemayoran. Lapangan terbang ini sering dijadikan tempat latihan pesawat terbang Fokker buatan Belanda untuk kawasan Asia Pasifik.

Pada masa pendudukan Jepang, Lapangan Terbang Cililitan dipakai oleh pesawat tempur Jepang untuk mempertahankan pulau Jawa dari serangan sekutu. Setelah Jepang menyerah, maka Lapangan Terbang Cililitan kembali dipakai untuk pesawat tempur Belanda selain Lapangan Terbang Kalijati Bandung. Pada masa pemerintahan Orde Lama Bung Karno (1959-1965), Lapangan Terbang Cililitan berubah nama menjadi Halim Perdanakusuma (Halim PK) dan menjadi Lapangan Udara Utama (Lanuma) TNI-AU karena selain dekat dengan Markas Besar Angkatan Udara (MABAU) di Pancoran, juga berfungsi sebagai Lapangan Terbang VVIP/VIP. Pesawat-pesawat tempur dari Rusia awal tahun 1960-an seperti pesawat pemburu MIG 15, MIG 17, MIG 19, MIG 21, pesawat pembom TU-16, dan pesawat pengangkut Antonov selain Hercules juga sempat menghuni Lanuma Halim PK ini.


Peristiwa G-30S/PKI pernah membuat Halim PK menjadi "lembaran hitam" oleh pemerintah Orde Baru Soeharto karena selalu dikaitkan dengan Tragedi Lubang Buaya yang menewaskan 6 orang Jenderal TNI-AD oleh PKI. Pada awal tahun 1970-an, karena Bandara Kemayoran sudah tidak dapat lagi menampung kepadatan penerbangan baik domestik maupun internasional sementara Bandara Cengkareng baru memulai pembangunannya pada tahun 1975, maka untuk sementara penerbangan internasional mulai tahun 1974 dipindahkan ke Bandara Halim PK.

Pengoperasian Bandara Internasional Halim Perdanakusuma (1974-1984) juga mempunyai kendala yang sama seperti Bandara Adi Sucipto Yogyakarta, Hussein Sastranegara Bandung, Polonia Medan, dan Tabing Padang. Kendala pertama, karena bandara-bandara ini milik TNI-AU dan oleh karena itu penerbangan pesawat TNI-AU dan kenegaraan (VVIP/VIP) selalu menjadi prioritas utama, karena landasan yang ada hanya satu ditambah lagi dengan alasan keamanan, maka Bandara Halim PK ditutup sementara bila ada kegiatan keberangkatan/kedatangan VVIP RI 1 dan RI 2 dimana waktu yang dibutuhkan paling cepat 15 menit sebelum dan sesudah keberangkatan/kedatangan, karena selain adanya upacara kenegaraan, pesawat tamu negara biasanya parkir di depan gedung VVIP. Kendala kedua, selain terbatasnya lahan tempat parkir kendaraan, juga tidak memadainya pelayanan transportasi umum di Bandara Halim PK karena yang ada hanya taksi selain angkutan umum Trans Halim yang beroperasi diluar bandara.


Pada tahun 2003, akhirnya ditetapkan dalam Keputusan Menteri Perhubungan No. 32 tahun 2003 tentang Pengoperasian Bandara Soekarno-Hatta dan Halim Perdanakusuma. Pada bagian kedua ayat e Keputusan itu mengatakan bahwa Bandara Halim PK dapat mengoperasikan penerbangan berjadwal dalam negeri dengan persyaratan pesawat yang berkapasitas 110 tempat duduk dan waktu terbangnya kurang atau sama dengan 1 jam terbang dari/tiba ke Bandara Halim PK.     

Tidak ada komentar:

 

Sample text

Sample Text

Sample Text