Pages

Ads 468x60px

Senin, 21 Juli 2014

Hukuman Berat Untuk Penumpang Yang Merokok Di Dalam Pesawat


Larangan merokok di dalam pesawat dibuat bukan untuk hiasan. Larangan itu demi keselamatan penerbangan, namun Putra Kuncoro tetap merokok dalam penerbangan Citilink Jakarta - Bengkulu Sabtu (19/7) kemarin.


Putra kini tengah diurus oleh pihak keamanan. Namun berdasarkan keterangan yang kami dapat, Minggu (20/7/2014), Putra telah melanggar Pasal 54 UU No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Berikut bunyi aturannya:

Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan dilarang melakukan:

a. Perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan;
b. Pelanggaran tata tertib dalam penerbangan;
c. Pengambilan atau pengrusakan peralatan pesawat udara yang dapat membahayakan keselamatan;
d. Perbuatan asusila;
e. Perbuatan yang mengganggu ketenteraman; atau
f. Pengoperasian peralatan elektronika yang mengganggu navigasi penerbangan.

Tindakan Putra dapat membahayakan keselamatan penerbangan. Jika berdampak buruk maka Putra dapat dikenakan sanksi berupa denda maksimal Rp 2,5 miliar atau kurungan penjara maksimal 5 tahun. Sanksi ini diatur dalam Pasal 412 ayat 6 UU Penerbangan.

Namun pilot dan awak pesawat langsung mengambil tindakan sebelum perbuatan Putra membahayakan penumpang lainnya. Putra langsung diamankan dan diproses, pihak Citilink pun memproses Putra ke pihak berwenang.

Putra dipergoki merokok di toilet pesawat sehingga pilot melapor ke Bandara untuk segera melakukan pengamanan. Ancaman pidana pun menunggu Putra. 

Jadi, Apakah Anda masih ingin membahayakan keselamatan orang lain hanya karena ingin merokok di dalam pesawat?

Minggu, 20 Juli 2014

Semakin Padatnya Bandara Soekarno-Hatta


Bandara Internasional Soekarno-Hatta (Soetta) terkenal sebagai salah satu bandara tersibuk di dunia sehingga sering ada antrean/kemacetan/delay di udara.


Namun kini kemacetan udara sudah sedikit berkurang setelah adanya peningkatan Improved Runway Capacity (IRC) dari hanya 64 pesawat menjadi 72 pesawat per jam yang naik dan turun di landasan Bandara Soetta.

Direktur Operasi Kebandarudaraan PT Angkasa Pura II (AP II) Endang A Sumiarsa mengatakan sejak 26 Juni 2014, AP II telah meningkatkan IRC-nya dari 64 menjadi 72 pesawat per jam. "Artinya dari sebelumnya jumlah penerbangan setiap 1 jam Bandara Soetta mencapai 64 pesawat, sekarang ini sudah 72 pesawat," kata Endang, Jumat (18/7/2014).

Endang mengatakan, peningatan IRC tersebut dengan melakukan perbaikan dalam reposisi parkir pesawat sehingga terpehuninya Aircraft Safety Clearance. "Selain itu kita juga melakukan upgrade kapasitas parkir pesawat udara-re-design taxi routing AP II juga sedang melakukan penambahan check in counter baru di Terminal 2E di Bandara Soetta sebanyak 10 counter," ungkapnya.

Senior General Manager Kantor Cabang Utama PT Angkasa Pura II Bandara Soekarno Hatta, Bram B Tjiptadi menambahkan, dengan peningkatan IRC menjadi 72, membuat tingkat antrean pesawat yang ingin mendarat atau terbang di Bandara Soetta jauh lebih berkurang. "Dari awalnya kemacetan pesawat mencapai 150 pesawat turun menjadi 50 pesawat, hal ini tentunya berdampak besar bagi aktivitas penerbangan di Bandara," tutupnya.

Selasa, 15 Juli 2014

Tragedi Pengenaan Pajak Barang Mewah Tas Mahal Dan Suku Cadang Pesawat


Beredar kabar Menperin ingin membebaskan PPnBM tas merk papan atas yang dikonsumsi hanya oleh sebagian kecil masyarakat Indonesia. Pertanyaan saya, apakah suku cadang pesawat udara masuk pada kategori barang mewah, sehingga harus dikenakan PPnBM? Apakah suku cadang pesawat udara perlu dikendalikan pola konsumsinya atas barang kena pajak yang tergolong mewah (Penjelasan Pasal 5 ayat 1)? Sementara industri suku cadang pesawat udara dalam negeri yang diakui oleh pabrikan pesawat udara internasional belum tumbuh dan belum perlu diproteksi. 

Penjualan tas merk papan atas tidak akan terpengaruh oleh besarnya PPnBM karena berapapun harga tas merek papan atas, pasti dibeli karena penggemarnya tertentu dan masyarakat kelas atas yang uangnya tidak berseri. Sementara untuk pesawat udara yang merupakan angkutan umum yang diperlukan oleh publik dan hampir 99% suku cadangnya masih impor dikenakan PPnBM. 

Mari kita renungkan apa yang ada dipikiran Menperin terkait dengan keinginannya menghapus PPnBM tas papan atas, yang hanya dikonsumsi oleh segelintir perempuan Indonesia ? Kalaupun tas ini dikenakan PPnBM 200% pun, tas papan atas ini masih tetap diburu oleh pecintanya. Sementara pengenaan PPnBM (5%-12,5%) terhadap suku cadang pesawat udara akan menyebabkan beban maskapai penerbangan domestik semakin berat dan sulit berkompetisi di industri penerbangan dunia atau bahkan hanya ASEAN.

Perlunya Tidaknya Pengenaan PPnBM 

Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang PPN 1984, terdapat dua jenis objek PPnBM, yaitu:


a. Penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya; dan 
b. Impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.

Pertimbangan pengenaan PPnBM ini atas barang mewah, sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU PPN tahun 1984 yang kemudian direvisi menjadi UU No. 42 tahun 2009, adalah:


1. Perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dan konsumen yang berpenghasilan tinggi;
2. Perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Pajak yang tergolong mewah; 
3. Perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional; dan
4. Perlu untuk mengamankan penerimaan negara.

Tas bermerek papan atas sesuai dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf b, yaitu: impor barang kena pajak yang tergolong mewah harus dikenakan PPnBM. Alasannya tas bermerek papan atas pantas dikenakan PPnBM karena 'perlu dikendalikan pola konsumsinya atas barang kena pajak yang tergolong mewah, perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional dan perlu untuk mengamankan penerimaan NegaraÓ sesuai dengan penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU PPN tahun 1984.

Pengenaan PPnBM dan depresiasi Rupiah terhadap dolar Amerika membuat harga suku cadang pesawat menjadi semakin mahal. Belum lagi maskapai masih terbebani oleh harga avtur yang terus meningkat. Semua pengeluaran itu dibayar oleh maskapai penerbangan dengan mata uang dolar Amerika, sementara pendapatannya dalam Rupiah. Akibatnya kondisi cash flow atau arus dana tunai maskapai penerbangan sekarat.

Saat ini jika sebuah maskapai penerbangan bisa mendapatkan margin keuntungan sekitar 3% sudah terbilang istimewa. Dengan beban PPnBM, biaya suku cadang, biaya avtur dan sebagainya kemungkinan margin menjadi negatif. Untuk menyiasati besarnya biaya operasional pesawat, patut diduga maskapai penerbangan akan melakukan banyak penghematan, khususnya di biaya suku cadang supaya tidak bernasib seperti Batavia Air, Merpati dan Tiger Mandala.

Penghematan di biaya suku cadang dapat dilakukan melalui pembelian suku cadang berharga miring dan biasanya masuk golongan 'bogus part' atau suku cadang rekondisi atau 'KW' yang tidak disertifikasi oleh pabrikan pesawat udara. Jika ini yang terjadi maka keselamatan penerbangan sipil akan dikorbankan. 

PPnBM tidak lazim dikenakan di suku cadang pesawat terbang. Di Negara ASEAN hanya Indonesia yang masih mengenakan PPnBM. Ini berakibat maskapai penerbangan Indonesia akan sulit bersaing dengan maskapai penerbangan negara-negara ASEAN lain saat diberlakukannya ASEAN Open Sky Policy pada 1 Januari 2015 mendatang.

Langkah Pemerintah 

Pertama lupakan program penghapusan PPnBM tas bermerek papan atas, demi keadilan. Bahkan kalau bisa dinaikan besaran PPnBMnya. Kenaikan PPnBM tas bermerek papan atas tidak akan mengurangi volume penjualan karena target konsumennya memang sangat terbatas.

Kedua hapus PPnBM untuk suku cadang pesawat udara karena sebagai negara kepulauan, publik sangat membutuhkan angkutan udara yang terjangkau dan aman. Jadi pada akhirnya Pemerintah harus berperan aktif membantu mengurangi beban biaya operasi maskapai penerbangan supaya maskapai penerbangan nasional dapat bersaing di kancah ASEAN Open Sky 2015.

PPnBM suku cadang impor dapat dikenakan kembali ketika industri suku cadang pesawat dalam negeri sudah mulai tumbuh dan perlu dipercepat pertumbuhannya. Intinya PPnBM hanyalah sebuah instrument untuk menggairahkan industri. Jangan samakan tas bermerk papan atas dengan suku cadang, seperti nose gear extension and retraction, pump hydraulic electric driven system dan sebagainya.

Sebagai penutup abaikan usulan konyol Menperin karena bertentangan dengan kampanye yang selama ini dilakukan oleh beberapa Kementrian termasuk Kementrian Perindustrian, yaitu cintailah produk-produk dalam negeri. 

Jumat, 04 Juli 2014

Seberapa Berat Beban Sebuah Maskapai Penerbangan Di Indonesia Saat Ini ?


Dunia penerbangan sudah semakin sulit dipisahkan dari kehidupan manusia modern. Salah satu tolok ukur adalah kuatnya perekonomian suatu negara dapat dilihat dari kuatnya maskapai penerbangan negara tersebut masuk ke pasar dunia. Semakin luas penetrasi rute dan kualitas pelayanan maskapai tersebut, maka bisa dikatakan bahwa negara tersebut semakin signifikan perannya di kancah perekonomian dunia.



Dalam lima (5) tahun terakhir, Indonesia dengan 250 juta penduduk, seharusnya berpeluang besar untuk menjadi raksasa penerbangan sipil. Paling tidak di wilayah regional ASEAN. Penambahan pesawat baru yang signifikan jumlah dan jenisnya dalam 3 tahun belakangan ini, seharusnya bisa menjadi modal awal untuk menjadi salah satu penguasa dirgantara regional 5 tahun mendatang. Sayang dukungan Pemerintah tidak kondusif, membuat peluang itu belum terwujud.



Secercah sinar itu tampaknya mulai pudar ketika tahun 2013 Batavia Air dinyatakan bangkrut dan menutup operasinya. Disusul tutupnya Star Aviation, Merpati Nusantara dan terakhir Mandala Tiger yang resmi tutup operasi 1 Juli 2014. Selain penutupan tersebut, beberapa maskapai yang tersisa, termasuk Garuda Indonesia, merugi di kuartal 1 hingga bulan Juni 2014 ini.



Kondisi tersebut membuat kita semua menjadi ragu, apakah maskapai Indonesia siap menjadi macan penerbangan sipil regional (ASEAN)? Terlebih mulai 1 Januari 2015 akan berlaku ASEAN Open Sky Policy sebagai bagian dari Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Apa yang sebenarnya terjadi? Salahnya di mana dan apa penyebabnya? Kemudian langkah apa yang harus dilakukan untuk menghindari keterpurukan total industri penerbangan sipil nasional di tengah dimulainya perdagangan bebas ASEAN.



Persoalan Mendasar Industri Penerbangan Nasional 



Selain kondisi makro ekonomi Indonesia yang terus memburuk sejak tahun 2013, kurangnya dukungan serta peran Pemerintah sebagai regulator semakin memperburuk kondisi keuangan makapai penerbangan sipil nasional yang memang margin keuntungannya tipis (3%). Belum lagi resesi Eropa dan Amerika yang juga tak kunjung pulih sepenuhnya.



Kejatuhan nilai Rupiah yang berkepanjangan membuat biaya operasi, perawatan, leasing, asuransi pesawat yang semua harus dibayar dengan US Dollar membuat pendapatan dalam rupiah tergerus semakin parah. Belum lagi harga avtur yang juga terus meningkat membuat semua maskapai nasional sesak napas.



Dalam situasi seperti itu, seharusnya Pemerintah berperan untuk dapat mengurangi kerugian maskapai sehingga dapat terus beroperasi melayani publik dengan baik, misalnya melalui kebijakan insentif fiskal, penataan regulasi yang selama ini memberatkan maskapai penerbangan, pembangunan infrastruktur penerbangan (bandara dan navigasi) dsb. Namun tampaknya upaya itu nyaris tidak ada.


Pertama, Pemerintah harus menghilangkan berbagai pungutan resmi tetapi tidak lazim terjadi di industri penerbangan, khususnya di ASEAN, sehingga secara apple to apple maskapai kita dapat bersaing di wilayah regional bahkan dunia. Misalnya, saat ini maskapai nasional sangat terbebani dengan bea masuk pembelian suku cadang sebesar 5-12,5%. Sementara hampir semua Negara di ASEAN, bea masuk nol persen. Dari sisi ini saja maskapai nasional akan sulit bersaing saat ASEAN Open Sky diberlakukan. 



Kedua, pungutan resmi lain yang harus dihadapi maskapai penerbangan sipil saat ini adalah menanggung semua biaya yang dikenakan negara kepada PT Pertamina sebagai penjual avtur ke maskapai penerbangan, seperti biaya iuran Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas sebesar 0,3% dari harga avtur per liter sesuai perintah Peraturan Pemerintah (PP) No. 1 Tahun 2006 tentang Besaran dan Penggunaan Iuran Badan Usaha Dalam Kegiatan Usaha Penyediaan dan Pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa. 



Avtur sebagai salah satu komponen biaya terbesar di sistem operasi maskapai penerbangan (20%-40% dari total biaya) seharusnya tidak dibebani lagi dengan berbagai macam biaya tambahan karena tanpa itupun, maskapai penerbangan sudah sesak napas dengan semakin dalamnya depresiasi Rupiah terhadap USD.



Mahalnya harga avtur di Indonesia dibandingkan, misalnya di Singapura US$ 78 sen tetapi di Jakarta US$ 91 sen, juga menjadi beban tambahan maskapai penerbangan. Tingginya harga avtur Indonesia disebabkan oleh banyaknya beban biaya avtur di hulu dan hilir tersebut. Harga avtur di hulu lebih tinggi karena patut diduga Pertamina membeli avtur melalui pedagang, tidak langsung ke NOC (National Oil Company).



Ketiga, biaya tambahan seperti biaya konsesi (throughput fee) sebesar 0,3%/liter harga avtur (sekitar Rp 30-Rp 45/liter) yang dikenakan oleh pengelola bandara kepada PT Pertamina atas penggunaan fasilitas bandara untuk mengangkut avtur, sebenarnya kurang tepat karena banyak pipa avtur milik bandara yang sudah berkarat dan tidak digunakan lagi. Jadi avtur disalurkan ke pesawat menggunakan truk tanki milik PT Pertamina sendiri, bukan pipa milik pengelola bandara. Namun demikian pengelola bandara masih mengenakan biaya ke PT Pertamina. 



Keempat, selain pungutan-pungutan di atas, maskapai penerbangan sipil nasional juga dirugikan dengan tidak optimalnya kerja para regulator di Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (DJU) Kementerian Perhubungan. Untuk ekspansi jalur internasional, maskapai kita terkendala dengan posisi DJU yang belum keluar dari Community List (larangan terbang) Uni Eropa dan masuk di Kategori 2 Federal Aviation Administration Amerika Serikat (larangan terbang).



Pekerjaan Rumah Maskapai Penerbangan Nasional 


Sesuai dengan ICAO Policies on Charges for Airport and And Navigation Services, Ninth Edition-2012-Doc 9082-Section 2, fuel (avtur) merupakan bagian yang dikecualikan untuk dikenakan konsesi oleh bandara, seperti throughput fee. Kalaupun pengelola bandara mengenakan biaya (apapun namanya) ke PT Pertamina, tidak boleh dibebankan ke harga avtur. Harus dicari biaya konsesi bentuk lain yang tidak membebani maskapai.



Selain itu PT Pertamina harus bisa menjual harga avtur yang tidak berbeda jauh dengan harga avtur di negara lain, misal pembeliannya harus langsung ke NOC bukan ke traders. Negara harus menjamin bahwa PT Pertamina mendapatkan harga impor avtur yang kompetitif. Lalu pengenaan biaya tambahan untuk BPH Migas harus dihilangkan karena kalau tidak akan memberatkan Pertamina atau bubarkan saja BPH Migas karena tidak ada gunanya kecuali memungut kiri kanan. 



Intinya berbagai pungutan resmi yang menghambat upaya untuk bersaing dengan maskapai penerbangan sipil negara lain harus dihilangkan supaya maskapai kita siap di ASEAN Open Sky 2015. Kurangi semua pungutan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi di industri penerbangan nasional.

Rabu, 02 Juli 2014

2040, Kapasitas Bandara Soetta Akan Naik 200%


Bandara International Soekarno-Hatta (Soetta), Tangerang, Banten memiliki masterplan untuk pengembangan terminal dan runway (landasan) baru yang telah ada sejak zaman Presiden Soeharto pada tahun 1986.


Dalam rancangan terbaru, bandara tersibuk dan terbesar di Indonesia ini disiapkan bisa menampung 128 juta penumpang per tahun atau naik 200% dari kapasitas saat ini 43 juta penumpang per tahun.

Bandara Soetta saat ini memiliki 3 terminal yaitu terminal 1, 2, dan 3, yang didukung oleh 2 runway. Pada masterplan era Presiden Soeharto, Bandara Soetta dirancang punya 4 terminal dan 4 runway.

Kapasitas 3 terminal saat ini mampu menampung hingga 43 juta orang per tahun. Kapasitas ini akan terus meningkat seiring renovasi terminal 1 dan 2. Kapasitas maksimal semua terminal jika telah selesai dikembangkan, maka bisa menampung 128 juta penumpang per tahun. "Ultimate total sampai 128 juta penumpang per tahun," kata Corporate Secretary PT Angkasa Pura II (Persero) (AP II) Daryanto, Selasa (01/07/2014).

Kapasitas maksimal tersebut akan tercapai pada tahun 2040. Saat itu, Bandara Soetta memasuki kapasitas maksimal alias ultimate sehingga sudah tidak bisa ditambah lagi daya tampungnya. Pada tahun itu juga, Bandara Soetta direncanakan harus memiliki 4 runway alias landasan pacu.

Saat ini fasilitas runway yang terbangun baru sebanyak 2 unit dengan panjang 3.000 meter dan lebar 60 meter.

Dihubungi secara terpisah, pengamat penerbangan Dudi Sudibyo menerangkan di negara maju pengembangan baru sebuah bandara dilakukan setiap 10 tahun sekali. 

Dudi mengambil contoh Bandara Incheon Korea Selatan. Bandara itu dibangun untuk masa 10 tahun ke depan. Setelah bandara beroperasi, selanjutnya bandara baru dipersiapkan untuk dibangun kembali. "Ambil contoh antara lain Incheon. Itu dibangun untuk 10 tahun, setelah itu bangun dan sekarang sudah dibangun bandara baru," jelasnya.

Dudi menjelaskan pembangunan bandara baru ke depan juga wajib mengikuti peraturan dan masterplan. Langkah ini dibutuhkan agar tidak terulang lagi peristiwa kepungan area pemukiman di eks Bandara Kemayoran Jakarta dan Bandara Soetta sehingga menyulitkan pengembangan bandara. Maka operator bandara, regulator dan pemerintah daerah harus duduk bersama menentukan peta pengembangan bandara dan area sekitarnya.

"Seharusnya Bandara Soekarno-Hatta tidak ada pemukiman, tidak pabrik sekian kilo meter dari bandara. Sekarang lihat pagar pemukiman dan pabrik sudah mendekati batas pagarnya bandara," tegasnya.
 

Sample text

Sample Text

Sample Text