Pages

Ads 468x60px

Jumat, 20 Juni 2014

Ruang Udara Dan Wilayah Udara Nasional (Bagian 1)

Prinsip Kedaulatan Di Ruang Udara


Prinsip pokok kedaulatan negara di wilayah udara telah diatur dalam Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional (Convention On International Civil Aviation, signed at Chicago on December 7, 1944) yang berbunyi "the contracting states recognizing that every state has complete and exclusive sovereignty over the airspace above is territory". Ketentuan ini mengatur salah satu tiang pokok hukum internasional yang mengatur ruang atau wilayah udara (airspace).

Prinsip pokok kedaulatan negara di ruang udara sebagaimana dimaksud Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 tersebut dinyatakan dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia.

Pada penjelasan Pasal 5 UU No. 1 Tahun 2009 dinyatakan bahwa sebagai negara berdaulat, Indonesia memiliki kedaulatan penuh dan utuh di wilayah udara Republik Indonesia yang sesuai dengan ketentuan Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional. Ketentuan dalam pasal ini hanya menugaskan mengenai kewenangan dan tanggung jawab negara Republik Indonesia untuk mengatur penggunaan wilayah udara yang merupakan bagian dari wilayah dirgantara Indonesia.


Sifat kedaulatan yang utuh dan eksklusif dari negara di wilayah udara nasional tersebut berbeda misalnya dengan sifat kedaulatan Negara di laut wilayah. Karena sifatnya yang demikian, maka di ruang udara nasional tidak dikenal hak lintas damai (innocent passage) pihak asing seperti terdapat di laut teritorial suatu negara. Ruang udara nasional suatu negara sepenuhnya tertutup bagi pesawat udara asing, baik sipil maupun militer. Hanya dengan ijin negara kolong terlebih dahulu, baik melalui perjanjian multilateral ataupun bilateral, maka ruang udara nasional dapat dilalui oleh pesawat udara asing.

Sifat tertutup yang demikian itu dapat dipahami mengingat ruang udara sebagai media gerak sangatlah rawan ditinjau dari segi pertahanan keamanan negara kolong. Karena serangan-serangan dengan menggunakan pesawat udara banyak memiliki keuntungan dan kemudahan, seperti sifatnya yang cepat (speed), jangkauan (range) yang luas, pendadakan (surprise), penyusupan (penetration) yang dapat dilakukan dengan optimal. Hal inilah yang mendorong setiap negara mengenakan standar penjagaan ruang udara nasionalnya secara ketat dan kaku. Dari prinsip kedaulatan negara di wilayah udara sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 di atas, ada 2 hal yang penting untuk dilakukan pembahasan dan pemahaman, yaitu: (1) Complete and exclusive (penuh dan utuh), dan (2) Airspace (ruang udara/wilayah udara).

Dari kata complete and exclusive yang terdapat dalam Pasal 1 ini menimbulkan pertanyaan: "Apakah kedaulatan negara di wilayah udaranya dapat dilaksanakan secara penuh dan utuh tanpa memperhatikan kepentingan negara-negara lain?". Pada prinsipnya, setiap negara itu di dalam wilayah kedaulatannya mempunyai hak untuk menjalankan dan memaksakan serta menyelesaikan perkara-perkara yang terjadi atas orang-orang, benda-benda dan berbagai permasalahan lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan nasionalnya. Namun kekuasaan tersebut tidaklah begitu absolut sehingga tidak dapat begitu saja mengesampingkan kepentingan negara-negara lain.

Oleh karena itu, kedaulatan yang penuh dan utuh tersebut juga harus menghormati ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam hukum internasional sebagai kesepakatan bangsa-bangsa. Sebagai contoh, "Bagaimana mengambil tindakan koreksi atas pelanggaran wilayah udara dan bagaimana selanjutnya tata cara dalam melakukan penyergapan?". Dalam hal ini harus memperhatikan ketentuan hukum internasional, khususnya Attachment dari Annex 2 Rule of the Air. Dalam hal ini dikenal pula adanya asas pertimbangan kemanusiaan yang mendasar (elementary considerations of humanity), dimana secara tegas telah dinyatakan sebagai asas yang selalu harus melandasi tindakan-tindakan negara dalam menghadapi pelanggaran wilayah udaranya oleh pesawat udara sipil asing. Sebagaimana telah diketahui bahwa pelanggaran wilayah udara (aerial instrusion) adalah suatu keadaan dimana pesawat udara lain tanpa ijin sebelumnya dari negara yang wilayahnya dimasuki pesawat udara asing tersebut. 

Senin, 16 Juni 2014

Definisi dan Sumber Hukum Udara

A. Definisi

Definisi dari beberapa ahli hukum udara adalah sebagai berikut:
1. Diederiks-Verschoor 
Hukum udara adalah hukum dan regulasi yang mengatur penggunaan ruang udara yang bermanfaat bagi penerbangan, kepentingan umum, dan bangsa-bangsa di dunia.
2. Nicholas de B. Katzenbach
Hukum udara internasional adalah sekumpulan peraturan-peraturan yang disusun tidak hanya oleh suatu negara, tetapi bersumberkan kepada perjanjian antara dua negara atau lebih. Dan perjanjian ini dapat tertulis atau terjadi karena adanya suatu pengertian bersama (common understanding) yang telah dikembangkan oleh sejarah sehingga menjadi semacam suatu kebiasaan yang umum diterima.
3. E. Pepin
Hukum udara adalah peraturan-peraturan mengenai sirkulasi penerbangan dan juga penggunaan pesawat udara serta hak dan kewajiban yang timbul karenanya.
4. Goedhuis
Hukum udara adalah hukum yang mengatur suatu situasi khusus dari kehidupan manusia dengan adanya rangkaian peraturan-peraturan yang berusaha menertibkan segala kejadian di ruang udara (air space) serta mengatur cara-cara memanfaatkan ruang udara sebagai objek bagi kepentingan penerbangan.
5. Prof. Priyatna Abdurrasyid
Hukum udara adalah segala macam undang-undang, peraturan-peraturan dan kebiasaan mengenai penerbangan serta segala hak dan kewajiban manusia sebagai pelaksanaannya yang disusun berdasarkan kepada perjanjian, kebiasaan dan hukum yang berlaku di antara negara dalam soal penerbangan (conventions, treaties, customary laws, etc.)
6. Prof. Suherman
Hukum udara adalah seluruh ketentuan-ketentuan yang mengatur ruang udara dan penggunaannya untuk penerbangan.

Sedangkan definisi Hukum Penerbangan menurut A. Ambrosini, Hukum Penerbangan (Aeronautical Law) adalah bagian atau cabang dari hukum yang mempelajari mengenai semua hubungan-hubungan baik bersifat publik maupun privat, nasional maupun internasional yang timbul dari navigasi udara dan yang menentukan aturan-aturan hukum.


Dari beberapa definisi yang disebutkan diatas, dapat ditarik suatu definisi hukum udara secara umum. Hukum udara merupakan keseluruhan norma-norma hukum yang mengatur penggunaan ruang udara, khususnya mengenai penerbangan, penggunaan pesawat-pesawat terbang dalam peranannya sebagai unsur yang diperlukan bagi penerbangan. Dengan kata lain, penerbangan merupakan objek kajian dalam hukum udara karena dalam kegiatannya menggunakan ruang udara sebagai medianya.

B. Sumber Hukum Udara

1. Sumber Hukum Udara Internasional

Sebagaimana diketahui pada Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional yaitu sumber-sumber hukum pada Hukum Internasional, dalam pasal tersebut yang menjadi sumber Hukum Internasional yaitu:
a. Konvensi-konvensi Internasional, 
b. Kebiasaan-kebiasaan Internasional,
c. Prinsip -prinsip hukum yang diakui oleh bangsa beradab,
d. Yurisprudensi.

Oleh karena itu tidak hanya Hukum Internasional, akan tetapi Hukum Udara juga mempunyai sumber Hukum Udara (air law sources) dapat besumber pada Hukum Internasional maupun Hukum Nasional. Sesuai dengan Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional mengatakan: internasional custom as evidence of a general practice, accepted as law. Sumber Hukum Udara Internasional dapat berupa multilateral maupun bilateral sebagai berikut:

a. Multilateral
Sumber Hukum Udara Internasional yang bersifat multilateral antara lain terdapat dalam Konvensi Paris 1919 dan konvensi-konvensi yang lain, sedangkan Hukum Udara perdata internasional antara lain Konvensi Montreal 1971, Konvensi Den Haag 1930 dan lain-lain. Di samping konvensi yang bersifat multilateral juga yang bersifat bilateral. 

b. Bilateral Air Transport Agreement
Pada saat ini Indonesia mempunyai perjanjian angkutan udara timbal balik (bilateral air transport agreement) tidak kurang dari 67 negara yang dapat digunakan sebagai sumber Hukum Udara nasional dan internasional. 

c. Hukum Kebiasaan Internasional
Menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, Hukum Kebiasaan Internasional juga merupakan salah satu sumber Hukum Internasional. Di dalam Hukum Udara Kebiasaan Internasional. Namun demikian, peran Hukum Kebiasaan Internasional tersebut semakin berkurang dengan adanya konvensi internasional, mengingat Hukum Kebiasaan Internasional kurang menjamin adanya kepastian hukum. Pasal 1 Konvensi Paris 1919, merupakan salah satu Hukum Kebiasaan Internasional dalam Hukum Udara Internasional. Namun demikian, pasal tersebut telah diakomodasi di dalam Konvensi Havana 1928 dan Pasal 1 Konvensi Chicago 1944. 

Dalam perkembangan teknologi, tindakan suatu negara dapat merupakan Hukum Kebiasaan Internasional tanpa adanya kurun waktu tertentu. Hal ini telah dilakukan oleh Amerika Serikat dengan menetapkan Air Defence Identification Zone (ADIZ). Air Defence Identification Zone (ADIZ) ini adalah penunjukan ruang udara khusus dimensi tertentu di mana semua pesawat udara diharuskan mematuhi identifikasi khusus atau prosedur tambahan yang berkenaan dengan lalu lintas udara. Yang kemudian tindakan Amerika Serikat tersebut diikuti oleh Canada dengan menentukan Canadian Air Defence Identification Zone (CADIZ) yang kemudian diikuti oleh negara-negara lain. Di dalam Hukum Laut Internasional juga dikenal adanya Hukum Kebiasaan sebagai salah satu sumber hukum. 

d. Prinsip-prinsip Umum Hukum (General Principles of Law)
Selain Hukum Kebiasaan Internasional dan konvensi internasional sebagaimana dijelaskan di atas, asas umum hukum (general principles recognized by civilized nations) juga dapat digunakan sebagai sumber Hukum Udara. Salah satu ketentuan yang dirumuskan di dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional adalah “general principles or law recognized by civilized nations” sebagai asas-asas yang telah diterima oleh masyarakat dunia dewasa ini, baik Hukum Udara Perdata maupun Hukum Udara Publik. Asas-asas atau prinsip-prinsip tersebut antara lain: Prinsip bonafide (itikad baik atau good faith), pacta sunt servanda, nebis in idem, equality rights, tidak boleh saling intervensi kecuali atas persetujuan yang bersangkutan dan prinsip non lequit,

e. Ajaran Hukum (Doctrine)
Ajaran hukum (doctrine) di dalam Hukum Internasional juga dapat digunakan sebagai salah satu sumber Hukum Udara. Di dalam Common Law System, atau Anglo Saxon System dikenal adanya ajaran hukum mengenai pemindahan resiko dari pelaku kepada korban. Menurut ajaran hukum tersebut, perusahaan penerbangan yang menyediakan transportasi umum bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh korban. Tanggung jawab tersebut berpindah dari korban (injured people) kepada pelaku (actor). Demikian pula ajaran hukum mengenai bela diri. Menurut ajaran hukum bela diri, suatu tindakan disebut sebagai bela diri bila tindakan tersebut seimbang dengan ancaman yang dihadapi. Oleh karena itu pesawat udara sipil yang tidak dilengkapi dengan senjata, tidak boleh ditembak karena pesawat udara sipil tidak ada ancaman yang membahayakan. Di samping itu, penembakan pesawat udara sipil juga tidak sesuai dengan semangat Konvensi Chicago 1944 yang mengutamakan keselamatan penumpang, awak pesawat udara, pesawat udara maupun barang-barang yang diangkut 

f. Yurisprudensi
Menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, yurisprudensi juga merupakan salah satu sumber hukum. Ketentuan demikian juga berlaku terhadap Hukum Udara, baik nasional maupun internasional. Banyak kasus sengketa yang berkenaan dengan Hukum Udara, terutama berkenaan dengan tanggung jawab hukum perusahaan penerbangan terhadap penumpang dan atau pengirim barang maupun terhadap pihak ketiga. Di Indonesia terdapat paling tidak terdapat dua macam yurisprudensi yang menyangkut Hukum Udara Perdata, masing-masing gugatan Ny. Oswald terhadap Garuda Indonesian Airways dalam tahun 1961 dan gugatan penduduk Cengkareng terhadap Japan Airlines (JAL) dalam tahun 2000. Dalam kasus penduduk Cengkareng melawan Japan Airlines mengenai tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga, sedangkan kasus Ny. Oswald melawan Garuda Indonesian Airways mengenai ganti rugi non fisik. Pada prinsipnya, keputusan pengadilan tersebut hanya berlaku terhadap para pihak, tetapi seorang hakim boleh mengikuti yurisprudensi yang telah diputuskan oleh hakim sebelumnya (The decision of the court has no binding force exept between the parties and in respect of that particular cases) artinya keputusan Mahkamah Internasional tidak mempunyai kekuatan mengikat, kecuali bagi pihak-pihak yang bersangkutan tertentu itu. 

2.Sumber Hukum Udara Nasional
Sumber Hukum Udara nasional terdapat di berbagai peraturan perundang-undangan nasional sebagai implementasi Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), juga Perjanjian Angkutan Udara Internasional (bilateral air transport agreement) di mana Indonesia sebagai pesertanya merupakan sumber hukum sebagai pelaksanaan undang-undang tersebut juga telah dikeluarkan berbagai peraturan penerbangan, baik yang menyangkut keselamatan maupun ekonomi transportasi udara, pada tataran Menteri maupun tataran Direktur jenderal Perhubungan Udara.
 

Sample text

Sample Text

Sample Text