Dunia penerbangan sudah semakin sulit dipisahkan dari kehidupan manusia modern. Salah satu tolok ukur adalah kuatnya perekonomian suatu negara dapat dilihat dari kuatnya maskapai penerbangan negara tersebut masuk ke pasar dunia. Semakin luas penetrasi rute dan kualitas pelayanan maskapai tersebut, maka bisa dikatakan bahwa negara tersebut semakin signifikan perannya di kancah perekonomian dunia.
Dalam lima (5) tahun terakhir, Indonesia dengan 250 juta penduduk, seharusnya berpeluang besar untuk menjadi raksasa penerbangan sipil. Paling tidak di wilayah regional ASEAN. Penambahan pesawat baru yang signifikan jumlah dan jenisnya dalam 3 tahun belakangan ini, seharusnya bisa menjadi modal awal untuk menjadi salah satu penguasa dirgantara regional 5 tahun mendatang. Sayang dukungan Pemerintah tidak kondusif, membuat peluang itu belum terwujud.
Secercah sinar itu tampaknya mulai pudar ketika tahun 2013 Batavia Air dinyatakan bangkrut dan menutup operasinya. Disusul tutupnya Star Aviation, Merpati Nusantara dan terakhir Mandala Tiger yang resmi tutup operasi 1 Juli 2014. Selain penutupan tersebut, beberapa maskapai yang tersisa, termasuk Garuda Indonesia, merugi di kuartal 1 hingga bulan Juni 2014 ini.
Kondisi tersebut membuat kita semua menjadi ragu, apakah maskapai Indonesia siap menjadi macan penerbangan sipil regional (ASEAN)? Terlebih mulai 1 Januari 2015 akan berlaku ASEAN Open Sky Policy sebagai bagian dari Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Apa yang sebenarnya terjadi? Salahnya di mana dan apa penyebabnya? Kemudian langkah apa yang harus dilakukan untuk menghindari keterpurukan total industri penerbangan sipil nasional di tengah dimulainya perdagangan bebas ASEAN.
Persoalan Mendasar Industri Penerbangan Nasional
Selain kondisi makro ekonomi Indonesia yang terus memburuk sejak tahun 2013, kurangnya dukungan serta peran Pemerintah sebagai regulator semakin memperburuk kondisi keuangan makapai penerbangan sipil nasional yang memang margin keuntungannya tipis (3%). Belum lagi resesi Eropa dan Amerika yang juga tak kunjung pulih sepenuhnya.
Kejatuhan nilai Rupiah yang berkepanjangan membuat biaya operasi, perawatan, leasing, asuransi pesawat yang semua harus dibayar dengan US Dollar membuat pendapatan dalam rupiah tergerus semakin parah. Belum lagi harga avtur yang juga terus meningkat membuat semua maskapai nasional sesak napas.
Dalam situasi seperti itu, seharusnya Pemerintah berperan untuk dapat mengurangi kerugian maskapai sehingga dapat terus beroperasi melayani publik dengan baik, misalnya melalui kebijakan insentif fiskal, penataan regulasi yang selama ini memberatkan maskapai penerbangan, pembangunan infrastruktur penerbangan (bandara dan navigasi) dsb. Namun tampaknya upaya itu nyaris tidak ada.
Pertama, Pemerintah harus menghilangkan berbagai pungutan resmi tetapi tidak lazim terjadi di industri penerbangan, khususnya di ASEAN, sehingga secara apple to apple maskapai kita dapat bersaing di wilayah regional bahkan dunia. Misalnya, saat ini maskapai nasional sangat terbebani dengan bea masuk pembelian suku cadang sebesar 5-12,5%. Sementara hampir semua Negara di ASEAN, bea masuk nol persen. Dari sisi ini saja maskapai nasional akan sulit bersaing saat ASEAN Open Sky diberlakukan.
Kedua, pungutan resmi lain yang harus dihadapi maskapai penerbangan sipil saat ini adalah menanggung semua biaya yang dikenakan negara kepada PT Pertamina sebagai penjual avtur ke maskapai penerbangan, seperti biaya iuran Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas sebesar 0,3% dari harga avtur per liter sesuai perintah Peraturan Pemerintah (PP) No. 1 Tahun 2006 tentang Besaran dan Penggunaan Iuran Badan Usaha Dalam Kegiatan Usaha Penyediaan dan Pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa.
Avtur sebagai salah satu komponen biaya terbesar di sistem operasi maskapai penerbangan (20%-40% dari total biaya) seharusnya tidak dibebani lagi dengan berbagai macam biaya tambahan karena tanpa itupun, maskapai penerbangan sudah sesak napas dengan semakin dalamnya depresiasi Rupiah terhadap USD.
Mahalnya harga avtur di Indonesia dibandingkan, misalnya di Singapura US$ 78 sen tetapi di Jakarta US$ 91 sen, juga menjadi beban tambahan maskapai penerbangan. Tingginya harga avtur Indonesia disebabkan oleh banyaknya beban biaya avtur di hulu dan hilir tersebut. Harga avtur di hulu lebih tinggi karena patut diduga Pertamina membeli avtur melalui pedagang, tidak langsung ke NOC (National Oil Company).
Ketiga, biaya tambahan seperti biaya konsesi (throughput fee) sebesar 0,3%/liter harga avtur (sekitar Rp 30-Rp 45/liter) yang dikenakan oleh pengelola bandara kepada PT Pertamina atas penggunaan fasilitas bandara untuk mengangkut avtur, sebenarnya kurang tepat karena banyak pipa avtur milik bandara yang sudah berkarat dan tidak digunakan lagi. Jadi avtur disalurkan ke pesawat menggunakan truk tanki milik PT Pertamina sendiri, bukan pipa milik pengelola bandara. Namun demikian pengelola bandara masih mengenakan biaya ke PT Pertamina.
Keempat, selain pungutan-pungutan di atas, maskapai penerbangan sipil nasional juga dirugikan dengan tidak optimalnya kerja para regulator di Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (DJU) Kementerian Perhubungan. Untuk ekspansi jalur internasional, maskapai kita terkendala dengan posisi DJU yang belum keluar dari Community List (larangan terbang) Uni Eropa dan masuk di Kategori 2 Federal Aviation Administration Amerika Serikat (larangan terbang).
Pekerjaan Rumah Maskapai Penerbangan Nasional
Sesuai dengan ICAO Policies on Charges for Airport and And Navigation Services, Ninth Edition-2012-Doc 9082-Section 2, fuel (avtur) merupakan bagian yang dikecualikan untuk dikenakan konsesi oleh bandara, seperti throughput fee. Kalaupun pengelola bandara mengenakan biaya (apapun namanya) ke PT Pertamina, tidak boleh dibebankan ke harga avtur. Harus dicari biaya konsesi bentuk lain yang tidak membebani maskapai.
Selain itu PT Pertamina harus bisa menjual harga avtur yang tidak berbeda jauh dengan harga avtur di negara lain, misal pembeliannya harus langsung ke NOC bukan ke traders. Negara harus menjamin bahwa PT Pertamina mendapatkan harga impor avtur yang kompetitif. Lalu pengenaan biaya tambahan untuk BPH Migas harus dihilangkan karena kalau tidak akan memberatkan Pertamina atau bubarkan saja BPH Migas karena tidak ada gunanya kecuali memungut kiri kanan.
Intinya berbagai pungutan resmi yang menghambat upaya untuk bersaing dengan maskapai penerbangan sipil negara lain harus dihilangkan supaya maskapai kita siap di ASEAN Open Sky 2015. Kurangi semua pungutan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi di industri penerbangan nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar