Pages

Ads 468x60px

Kamis, 12 Februari 2015

Ruang Udara dan Wilayah Udara Nasional (Bagian 2)

Teori Kedaulatan Negara Di Ruang Udara


Eksistensi horisontal wilayah udara suatu negara mengikuti batas-batas wilayah teritorial darat dan lautan yang mengikuti batas-batas wilayah teritorial permukaan negara yang pada dasarnya telah ditetapkan secara mantap, baik dalam hukum nasional maupun internasional. Tidak demikian halnya dalam menentukan batas vertikal wilayah kedaulatan negara di udara. Hal ini bukan saja karena hukum nasional kita belum mempunyaikonsepsi tegas, namun hukum internasional pun belum menetapkan secara jelas dimana batas akhir ketinggian dari ruang udara atau wilayah udara (air space).

Dalam hal ini yang menjadi permasalahan adalah bahwa Konvensi Chicago tidak pernah memberikan pengertian atau definisi apa yang dimaksud dengan air space, sehingga timbul penafsiran yang berbeda-beda. Secara pokok ada 2 teori utama yang ada dalam menafsirkan batas vertikal dari ruang udara, yaitu teori spatialist yang menghendaki agar batas-batas kedaulatan ditentukan dengan membagi secara tegas antara air space (ruang udara) dan outer space (ruang angkasa) dan teori fungsional yang menentang pembagian ruang udara dengan antariksa secara spatial (dikotak-kotakkan menurut ruang). Teori fungsional lebih lanjut berpandangan bahwa ruang udara dan ruang angkasa adalah satu kesimbunangan yang tak terpisahkan.

Teori Spatialist
a. Teori Hukum Keppler, teori yang menetapkan garis ketinggian 85 km sebagai batas tertinggi ruang udara, karena pada garis ini hukum aerodinamika bagi pesawat udara berhenti bekerja dan gerakan selanjutnya dikuasai hukum tenaga keppler.
b. Teori Gaya Tarik Bumi : Joseph Kroell menyarankan batas kedaulatan ditetapkan pada ketinggian dimana tidak ada lagi terdapat gaya berat (eight ceases its manifestation). Teori ini sejalan dengan pendapat ahli hukum internasional yang lain, yaitu Ambrosini.
c. Teori Penguasaan Efektif : Teori altitude of effective control ini diajukan oleh Cooper. Berdasarkan teori ini maka batas kedaulatan negara harus ditentukan sesuai dengan batas vertikal kemampuan negara untuk mengontrol ruang udaranya. Teori ini sejalan dengan pendapat ahli hukum internasional yang lain, yaitu Taubenfield yang mengatakan bahwa “sovereignty is limited to the altitudes at which the state can effectively control event”.
d. Teori Keamanan Negara, teori yang menghendaki agar batas ketinggian kedaulatan negara di udara ditetapkan atas dasar adanya jaminan bagi keamanan negara. Teori ini dikembangkan oleh ahli Rusia seperti Zhukov dan Koresky.
e. Teori Ketinggian (Ad Infinitum), teori yang menentukan bahwa ruang udara adalah tak terbatas, maka dimensi vertikalnya pun tak terbatas. Kedaulatan bebas ditarik ke atas sejauh ia dapat mengisi dimensi ruang tersebut (ad infinitum).
f. Teori Ruang Udara Schachter, teori ini mengatakan bahwa kedaulatan negara di ruang udara hanya terbatas pada daerah udara dimana dapat dilakukan penerbangan dengan pesawat udara yang dikemudikan oleh manusia (navigable air space) yang kini dapat mencapai ketinggian terbang sampai kira-kira 20 mil dan di kemudian hari mungkin sampai ketinggian 40 mil.

Teori Fungsional
Teori fungsional ini dikenal pula sebagai teori logika juridis. Dalam penafsiran ini diteliti asal usul penggunaan istilah airspace dan pengertian aircraft dalam lampiran (annexes) 8, 9, dan 10 Konvensi Chicago 1944. Pada lampiran ini, pesawat udara (aircraft) dinyatakan bahwa “any machine which can derive support in the atmosphere from the reaction of the air. Other than from the reaction of the earth’s surface”. Jadi pengertian pesawat udara disini adalah setiap pesawat yang memiliki tenaga (power) untuk bergerak di ruang udara atau di atmosfer, karena memperoleh reaksi udara kepadanya, dan reaksi ini bukan reaksi dari permukaan bumi.

Dengan demikian, penafsiran secara logika juridis ini dapat ditarik kesimpulan bahwa ruang udara (airspace) menurut pengertian Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 adalah jalur ruang udara di atmosfer yang berisikan cukup udara dimana pesawat udara dapat bergerak karena reaksi udara terhadapnya sehingga mendapat gaya angkat (lift).

Kemudian jarak ketinggian kedaulatan negara di atmosfer akan ditentukan oleh kesanggupan pesawat udara mencapai ketinggian yang ditentukan (ceiling). Dengan demikian, teori ini mengajurkanagar membagi rezim hukum udara dan hukum ruang angkasa berdasarkan fungsi dari alat penerbangan yang digunakan. Jikalau alat penerbangan tersebut berupa pesawat udara (aircraft), maka media ruang dimana ia bergerak dikuasai oleh hukum udara (air law), dimana prinsip kedaulatan negara di udara berlaku secara penuh dan utuh (complete and exclusive).

Namun bila alat penerbangan berupa pesawat ruang angkasa (spacecraft), maka media ruang dimana ia bergerak berada dibawah hukum ruang angkasa (space law), dimana berlaku asas kebebasan mempergunakan ruang angkasa dan asas non-appropriation. Termasuk sebagai kriteria fungsi pesawat ruang angkasa / antariksa adalah pesawat tersebut benar-benar dimaksudkan untuk diluncurkan dalam orbit bumi atau wilayah antariksa lainnya, termasuk benda-benda langit.


Konvensi Chicago 1944 tentang Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (Convention on International Civil Aviation Organization / ICAO, ditandatangani di Chicago pada 7 Desember 1944) merupakan salah satu tiang pokok hukum internasional yang mengatur ruang atau wilayah udara (airspace). Hal tersebut diatur di dalam Pasal 1 bahwa, setiap negara pihak mengakui bahwa setiap negara anggota mempunyai kedaulatan penuh dan utuh atas ruang udara di atas wilayahnya. Yang dimaksud dengan wilayah (territory) berdasarkan Pasal 2 adalah bagian darat (land areas) dan perairan teritorial (territorial waters) yang berbatasan dengannya yang berada dibawah kedaulatan kekuasaan, perlindungan atau mandat dari negara itu. 

Tidak ada komentar:

 

Sample text

Sample Text

Sample Text