Pages

Ads 468x60px

Selasa, 13 Oktober 2015

Urgensi Ratifikasi Konvensi Montreal 1999



MANFAAT

Adapun manfaat yang didapat dari meratifikasi Konvensi Montreal 1999 adalah

1. Bagi Penumpang - mengurangi waktu tunggu, menjamin hak-hak penumpang terhadap ganti rugi akibat kecelakaan tanpa perlu membuktikan kelalaian atau kesalahan, dan mempermudah gugatan terhadap maskapai dengan adanya yuridiksi kelima.
2. Bagi pengirim kargo - memfasilitasi penggunaan surat muatan udara elektronik (e-awb), dan mengurangi beban biaya dari dihapusnya penggunaan kertas dokumen.
3. Bagi maskapai - menjamin keseragaman aturan tanggung jawab hukum dalam penerbangan internasional. Proses penanganan klaim, mendapatkan asuransi yang memadai, dan proses litigasi yang dihasilkan dari kecelakaan tidak lagi kompleks.
4. Bagi negara - memodernisasi dan mengharmonisasi aturan yang berhubungan dengan penerbangan internasional, serta memfasilitasi perdagangan yang mulus dengan mitra dagang utama Indonesia.

KONSEKUENSI

Namun, selain manfaat, tentu juga ada konsekuensi dari ratifikasi Konvensi Montreal 1999, yaitu

1. Merevisi ketentuan-ketentuan dalam UU No. 1 tahun 2009 yang berkaitan dengan penerbangan internasional.
2. Wajib untuk tunduk pada segala ketentuan dalam Konvensi Montreal 1999.
3. Maskapai penerbangan nasional wajib mengasuransikan seluruh tanggung jawabnya.

PERBANDINGAN GANTI RUGI  

UU No. 1/2009 jo. PM 77/2011 jo. PM 89/2015
-                                 Keterlambatan Penerbangan (Pasal 9 PM 89/2015)
a.       Minuman ringan untuk keterlambatan 30 s.d 60 menit (kategori 1) (huruf a)
b.      Minuman dan snack box untuk keterlambatan 61 s.d 120 menit (kategori 2) (huruf b)
c.       Minuman dan makanan berat untuk keterlambatan 121 s.d 180 menit (kategori 3) (huruf c)
d.      Minuman, snack box, dan makanan berat untuk keterlambatan 181 s.d 240 menit (kategori 4) (huruf d)
e.       Rp. 300.000,- untuk keterlambatan lebih dari 240 menit (kategori 5) (huruf e)
f.       Wajib mengalihkan ke penerbangan berikutnya atau mengembalikan seluruh tiketnya untuk pembatalan penerbangan (kategori 6) (huruf f)
g.       Dapat dialihkan ke penerbangan berikutnya atau dikembalikan seluruh biaya tiketnya untuk keterlambatan kategori 2 s.d 5 (huruf g)  
-                                 Kecelakaan Pesawat (Pasal 3 PM 77/2011)
a.       Rp. 1.250.000.000,- per penumpang bila meninggal dunia saat flight (huruf a)
b.      Rp. 500.000.000,- per penumpang bila meninggal dunia saat proses embarkasi, disembarkasi, atau transit (huruf b)
c.       Rp. 1.250.000.000,- per penumpang bila mengakibatkan cacat tetap total (huruf c)
d.      Rp. 200.000.000,- per penumpang bila mengakibatkan luka-luka (huruf e)
-                                 Bagasi Tercatat (Pasal 5 PM 77/2011)
a.       Rp. 200.000,- per kg atau Rp. 4.000.000,- per penumpang bila hilang atau musnah (ayat 1 huruf a)
b.      Rp. 200.000,- per hari (paling lama 3 hari kalender) sebagai kompensasi uang tunggu (ayat 3)
-                                 Kargo (Pasal 7 PM 77/2011)
a.       Rp. 100.000,- per kg bila hilang atau musnah (huruf a)
b.      Rp. 50.000,- per kg bila rusak sebagian atau seluruh isi kargo (huruf b)

Konvensi Warsawa 1929 (Pasal 22)
-         Keterlambatan Penerbangan dan Kecelakaan Pesawat
Maksimum 125.000 Franc (ayat 1)
-         Bagasi Tercatat dan Kargo
250 Franc per kg atau maksimum 5.000 Franc per penumpang (ayat 2 dan 3)

Konvensi Montreal 1999 [1] (Revisi per 30 Desember 2009 – ICAO)
-                                  Keterlambatan Penerbangan (Pasal 22)
SDR 4.694 per penumpang (atau setara dengan Rp. 95.699.000,-) (ayat 1)
-                                  Kecelakaan Pesawat (Pasal 21)
SDR 113.110 per penumpang bila meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka (atau setara dengan Rp. 2.305.050.900,-) (ayat 1)
-                                  Bagasi Tercatat (Pasal 22)
SDR 1.131 per penumpang bila rusak, hilang, musnah, atau terlambat (atau setara dengan Rp. 23.048.500,-) (ayat 2)
-                                  Kargo (Pasal 22)
                  SDR 19 per kg bila rusak, hilang, musnah, atau terlambat (atau setara dengan Rp. 387.200,- per                     kg) (ayat 3)


KEPUTUSAN PENGADILAN ASING DI INDONESIA

Bila suatu negara ingin mengajukan suatu perkara ke peradilan yang bersifat internasional, maka persetujuan semua pihak yang bersengketa merupakan suatu keharusan. Penyelesaian sengketa antar negara melalui peradilan yang bersifat internasional juga berarti pengurangan kedaulatan negara-negara yang bersengketa.[2] Sehingga, setelah dikeluarkan putusan oleh peradilan, setiap negara pihak yang bersengketa wajib melaksanakan putusan tersebut.
Mengenai putusan pengadilan asing dapat dieksekusi di Indonesia (melalui pengadilan Indonesia), hanya apabila diatur dalam undang-undang tersendiri, perjanjian bilateral ataupun perjanjian multilateral yang mengecualikan berlakunya Pasal 436 Rv.[3]
Satu-satunya cara untuk mengeksekusi putusan pengadilan asing di Indonesia adalah dengan menjadikan putusan tersebut sebagai dasar hukum untuk mengajukan gugatan baru di pengadilan Indonesia. Kemudian, putusan pengadilan asing tersebut oleh pengadilan Indonesia dapat dijadikan sebagai alat bukti tulisan dengan daya kekuatan mengikatnya secara kasuistik, yaitu
a.    bisa bernilai sebagai akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat, atau
b.    hanya sebagai fakta hukum yang dinilai secara bebas sesuai dengan pertimbangan hakim.

KESIMPULAN

Sulitnya mempertemukan dua ketentuan ini bukan saja terjadi di Indonesia, melainkan hampir di seluruh dunia mengingat dua ketentuan yang berbeda dan terlihat saling bertentangan. Perlu disadari bagaimana ketentuan dalam pasal 33 ayat 2 Konvensi Montreal 1999 harus dipahami, dimana pengadilan asing yang menerima gugatan dari penduduknya berdasarkan ketentuan pasal ini harus menimbang mengenai eksekusi putusannya. Penerimaan terhadap gugatan yang masuk ke pengadilan berdasarkan ketentuan pasal ini tanpa menimbang eksekusi putusannya, pada akhirnya akan berdampak pada gugatan yang sia-sia.
Salah satu alasan pemerintah belum meratifikasi Konvensi Montreal 1999 karena memungkinkan penumpang untuk menggugat maskapai penerbangan berdasarkan status kependudukannya. Apabila alasannya terkait nilai kompensasi, maskapai Indonesia diyakini siap memberikan kompensasi yang sesuai dengan ketentuan Konvensi Montreal karena hal itu juga merupakan salah satu daya tawar maskapai. Oleh karenanya, ratifikasi Konvensi Montreal 1999 tidak akan saling bertabrakan dengan ketentuan hukum nasional manakala akan diberlakukan di Indonesia, sehingga dapat mendorong maskapai penerbangan nasional untuk memenuhi standar internasional yang ada.

REKOMENDASI

1.      Pemerintah membenahi peraturan perundang-undangan yang bersinergi dengan Konvensi Montreal 1999.
2.      Pemerintah perlu membenahi tata kelola transportasi penerbangan, karena semakin tingginya kebutuhan masyarakat terhadap transportasi udara saat ini.
3.      Pemerintah meratifikasi konvensi untuk merampingkan dan meningkatkan efisiensi transportasi udara khususnya penerbangan internasional dengan memberikan kompensasi yang merata.
4.      Pemerintah bekerjasama dengan maskapai penerbangan mengembangkan strategi dan komunikasi untuk bersama-sama menyoroti manfaat dari ratifikasi bagi Indonesia.
     5.  Otoritas Penerbangan Sipil Indonesia, dalam hal ini Direktorat Jenderal Perhubungan Udara,               harus berupaya meningkatkan standar mereka dengan pelatihan internasional, terutama dalam             hal aspek teknis operasional.



[1] Pasal 23 ayat 1 Konvensi Montreal: “nilai mata uang nasional (Rp.) pada satu negara anggota IMF berdasarkan syarat SDR, harus dihitung berdasarkan metode valuasi yang diterapkan oleh IMF”.
*) 1 Rupiah = 0.0000490705 SDR (currency per 21 September 2015), sumber: https://imf.org

[2] Dr. Boer Mauna, Hukum Internasional, Hal. 25.

[3] Pasal 436 ayat 1 RV: Kecuali seperti ditentukan dalam pasal 724 dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan lain-lain ketentuan perundang-undangan, keputusan-keputusan yang diberikan oleh badan-badan peradilan luar negeri, tidak dapat dieksekusi (dilaksanakan) di Indonesia”.



 

Sample text

Sample Text

Sample Text