Pages

Ads 468x60px

Kamis, 05 November 2015

Kementerian Perhubungan Revisi Aturan Tarif Kelas Ekonomi Angkutan Udara Domestik

Menteri Perhubungan Ignasius Jonan telah mengeluarkan Peraturan Menteri (PM) No.126 Tahun 2015 sebagai revisi atas PM No.51 Tahun 2014 tentang Mekanisme Formulasi Perhitungan Dan Penetapan Tarif Batas Atas Dan Batas Bawah Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri. 

PM No.126 Tahun 2015 telah ditandatangani oleh Menteri Perhubungan pada 24 Agustus 2015 dan diundangkan dalam Lembaran Negara pada 26 Agustus 2015.

Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Suprasetyo menjelaskan, revisi PM No. 51 tahun 2014 sebagai respon atas kondisi perekonomian saat ini yang menyebabkan nilai tukar Rupiah terdepresiasi terhadap Dollar Amerika yang telah lebih dari tiga bulan.

“Kurs mata uang Rupiah telah terdepresiasi terhadap Dollar Amerika secara berturut–turut telah berlangsung lebih dari tiga bulan,” ujar Suprasetyo dalam keterangan pers di Jakarta, Kamis (4/8).

Dampak dari depresiasi rupiah tersebut, kata Suprasetyo menyebabkan harga komponen pesawat menjadi mahal, sehingga biaya operasional pesawat.

“Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar dan harga komponen yang naik berdampak meningkatnya biaya operasional pesawat sebesar 10 persen dan kondisi ini sudah berlangsung selama tiga bulan berturut–turut, sehingga tarif batas atas angkutan udara kelas ekonomi niaga berjadwal harus disesuaikan,” jelas Suprasetyo.

Dalam PM No.126 tahun 2105 disebutkan, tarif penumpang pelayanan kelas ekonomi angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri dihitung berdasarkan komponen tarif jarak, pajak, iuran wajib, dan asuransi, serta dibedakan berdasarkan atas jenis pesawat yaitu propeller dan jet.

Dalam penentuan tarif batas atas angkutan udara kelas ekonomi niaga berjadwal juga dibedakan berdasarkan kelompok pelayanan angkutan udara niaga dalam negeri yaitu full service, medium service dan no frills.

Penerapan tarif 100 persen dari tarif maksimum untuk maskapai yang memberikan pelayanan standar maksimum (full services), penerapan tarif setinggi-tingginya 90 persen dari tarif maksimum untuk maskapai dengan pelayanan standar menengah (medium services), dan penerapan tarif setinggi-tingginya 80 persen dari tarif maksimum, untuk maskapai dengan standar pelayanan minimum (no frills services).

Untuk tarif batas bawah, Kementerian Perhubungan menurunkan dari 40 persen dari tarif batas atas ke 30 persen dari tarif batas atas. “Penurunan ini dilakukan untuk menjaga kelangsungan operasional maskapai, karena daya beli masyarakat yang turun akibat krisis ekonomi,” pungkas Suprasetyo.


sumber: hubud.dephub.go.id

Selasa, 03 November 2015

Kepatuhan Pada Kebijakan ICAO

Konvensi internasional yang mengatur penerbangan sipil internasional dan telah mengikat 190 negara adalah Convention on International Civil Aviation atau sering dikenal dengan sebutan Konvensi Chicago 1944. Dalam pasal 37 dengan jelas dikatakan, bahwa untuk meningkatkan keamanan dan keselamatan penerbangan negara peserta Konvensi Chicago harus berupaya mengelola penerbangan sipil (personil, pesawat, jalur penerbangan, dan lain-lain) dengan peraturan, standar, prosedur dan organisasi yang sesuai (uniform) dengan standar yang dibuat oleh International Civil Aviation Organization (ICAO). Untuk itu ICAO selalu membuat dan memperbarui Standar and Recommendation Practices (SARPs) yang dituangkan dalam 18 Annexes. 
 
Kebijakan-kebijakan penerbangan yang dibuat oleh suatu negara yang berkaitan dengan keselamatan (safety) dan keamanan (security) harus berdasarkan paradigma-paradigma yang dipakai oleh ICAO yang telah dituangkan dalam 18 Annexes dan berbagai dokumen turunannya. Bila negara tidak bisa mematuhi pasal-pasal tertentu dalam annex tersebut, negara tertentu harus segera memberitahu ICAO untuk kemudian diumumkan melalui lampiran dari Annex terkait (pasal 38). Demikian juga bila ada perubahan atau amandemen Annex yang tidak bisa dipatuhi, maka negara tersebut harus memberitahu ICAO dalam kurun waktu 60 hari setelah pemberlakuan perubahan tersebut.
 
Apabila suatu negara tidak pernah mengirim perbedaan kepada ICAO, maka berarti negara tersebut harus mematuhi semua standar yang dibuat ICAO. Indonesia termasuk negara yang tidak pernah mengirim nota perbedaan kepada ICAO. Ini berarti Indonesia harus mematuhi semua standar yang telah ditetapkan ICAO. 
 
Bila kebijakan penerbangan yang diterbitkan suatu negara dibuat tanpa paradigma yang benar atau landasan ilmiah yang diakui secara universal dalam dunia penerbangan, maka kebijakan itu secara metodologi tidak dapat dipertanggungjawabkan. Bahkan bisa menjadi bahan tanda tanya dunia internasional.
 
Untuk mengetahui kepatuhan suatu negara terhadap standar-standar yang telah ditetapkan, ICAO membuat Universal Safety Oversight Audit Program (USOAP) yang dicetuskan pertama kali pada 1 Januari 1999 dalam Resolusi Sidang Umum ICAO No. A31-11 setelah memperhatikan rekomendasi pertemuan para Direktur Jenderal Perhubungan Udara pada 1997. Sedangkan audit yang berkaitan dengan keamanan penerbangan dilanjutkan dengan Universal Security Audit Program (USAP). USOAP dengan pola pendekatan sistematik mulai dilakukan pada 1 Januari 2005 setelah sebelumnya dilakukan audit dengan pola per annex dan bersifat sukarela.     

Mengapa ICAO melakukan program USOAP dan USAP? Kepatuhan terhadap standar penerbangan internasional adalah aspek yang sangat fundamental. Meskipun kepatuhan terhadap standar bukan jaminan mutlak tidak akan terjadi kecelakaan, namun penerbangan yang tidak dikelola dengan standar-standar yang telah ditetapkan adalah sangat berbahaya. Penerbangan adalah aktivitas yang sangat sarat dengan peraturan dan prosedur yang ketat.

Hasil audit ICAO merupakan dokumen yang sangat kuat untuk memaksa negara anggota ICAO mematuhi standar-standar keamanan dan keselamatan penerbangan. Hasil audit ini dapat dilihat di website resmi ICAO dan dapat dibaca oleh umum. Dari audit kepatuhan USOAP tersebut, ICAO menemukan 121 butir ketidakpatuhan tentang keselamatan yang perlu dibenahi oleh Indonesia melalui rencana aksi perbaikan (corrective action plan). Sedangkan dari USAP, ditemukan 41 butir ketidakpatuhan dalam aspek keamanan.   
 

Sample text

Sample Text

Sample Text