Pages

Ads 468x60px

Rabu, 13 Juli 2016

Menyingkapi FIR Diatas Natuna Menurut Peraturan Penerbangan Nasional dan Internasional (Bag. 2)

(...sambungan Bagian 1)

Keuntungan FIR

Sebagai salah satu negara anggota ICAO sejak April 1950, Indonesia mempunyai kewajiban internasional untuk melayani semua penerbangan nasional maupun internasional yang dilakukan diatas wilayah udara Indonesia, sesuai Pasal 271 UUP No. 1 Tahun 2009. 

Dari aspek ekonomi, ruang udara jelas merupakan salah satu sumber pendapatan negara terbesar selain minyak dan gas bumi, karena setiap penerbangan diatas wilayah Indonesia dikenakan pungutan (RANS Fee) walaupun pungutan itu harus dikembalikan lagi dalam bentuk pelayanan dan fasilitas navigasi yang lebih baik. Di samping itu, wilayah udara juga dapat digunakan sebagai sarana tawar (bargaining power) dalam perjanjian internasional.

Pengambilalihan FIR? 

Indonesia sebenarnya berhak mengambil alih pengawasan FIR diatas pulau Natuna berdasarkan Pasal 1, 2, dan 28 Konvensi Chicago 1944, Pasal 2.1.1 Annex 11 Konvensi Chicago 1944, Pasal 2 dan 3 UNCLOS yang telah diratifikasi oleh Indonesia berdasarkan UU No. 17 Tahun 1985, serta UU Penerbangan No. 1 Tahun 2009.

Pengambilalihan FIR Natuna yang sudah dibahas secara intensif sejak Mei 1993 memerlukan usaha sungguh-sungguh karena memerlukan dukungan fasilitas navigasi penerbangan yang canggih, sumber daya manusia yang terampil dan berdedikasi, serta pelayanan yang prima. Tidak hanya faktor-faktor tersebut saja yang berpengaruh, tetapi para pengguna pelayanan penerbangan, khususnya para penerbang (pilot) yang melakukan penerbangan internasional juga harus dipertimbangkan. Bukan rahasia umum apabila dalam melakukan penerbangan internasional khususnya, para pilot lebih senang dilayani oleh ATC Singapura daripada dilayani oleh ATC Indonesia.

Secara teknis dan operasional, Indonesia sebenarnya telah memodernisasi sistem Air Traffic Management dengan teknologi terkini, yang meliputi ADS-B (Automatic Dependent Surveillance-Broadcast), Mode-S Radar, RVSM (Reduced Vertical Separation Minima), PBN (Performance Based Navigation) dan AIDC (ATS Interfacility Data Communication) dalam rangka meningkatkan kapasitas dan mengharmonisasikan dengan FIR negara tetangga.

Masalah lain yang terkait dalam pengambilalihan FIR adalah batas wilayah kedaulatan negara. Delegasi Singapura pernah mempermasalahkan hal ini dalam tindak lanjut RAN Meeting ketiga ICAO tahun 1993 dimana terdapat perbedaan pendapat mengenai batas wilayah negara Indonesia, khususnya letak titik pangkal terluar wilayah perairan Indonesia. 

Karena Pasal 2 Konvensi Chicago 1944 tidak tegas dalam menetapkan batas wilayah perairan suatu negara, penentuan mengenai batas perairan tersebut kemudian diatur dalam Pasal 2 dan 3 UNCLOS yang menyebutkan bahwa every state has the right to establish the breads of its territorial sea.. (batas wilayah perairan diserahkan kembali kepada negara yang bersangkutan). Karena itu, sepanjang Indonesia belum menetapkan batas titik pangkal terluar perairan Indonesia, selama itu pula Indonesia mengalami kesulitan untuk mengambil alih FIR.

Pengambilalihan FIR diatas Natuna juga perlu dikemukakan hubungan Indonesia dengan Malaysia yang telah diatur dalam UU No. 1 Tahun 1983. Menurut perjanjian tersebut, Indonesia dapat menentukan kawasan udara terlarang diatas Natuna untuk latihan perang. Malaysia tidak keberatan asal tidak diblok secara tetap melainkan secara insidentil diberi NOTAM (Notice to Airman) terlebih dahulu. Perlu diwaspadai, Malaysia selalu terkesan mengulur waktu dalam setiap pembahasan mengenai FIR ini.

Solusi

Pemerintah Indonesia perlu mengembangkan sistem kontrol udara yang menjangkau seluruh wilayah Indonesia termasuk mengambil alih kontrol yang dilakukan Singapura atas sektor ABC wilayah udara Indonesia. Untuk itu, perlu mengembangkan Automated Air Traffic System (ATTS) Bandara Soekarno-Hatta untuk FIR Jakarta dan Bandara Hasanuddin untuk FIR Makassar.

ATTS FIR Jakarta yang mengontrol wilayah utara bagian barat akan terintegrasi dengan FIR Singapura, sedangkan FIR Makassar akan terintegrasi dengan FIR Jakarta. Hal ini harus diawali dengan pembangunan gedung dan menara baru yang dilengkapi dengan sistem yang terbaru dan lebih canggih sehingga jangkauan kontrolnya akan lebih luas, serta peningkatan kualitas dan kuantitas SDM sehingga upaya pengambilalihan FIR dapat terwujud.

PT. Angkasa Pura II sebagai penyelenggara/pengelola ruang udara dalam rangka pengambilalihan FIR perlu membuat suatu rencana tahapan dan jadwal pengambilalihan serta infrastruktur penunjang penyelenggaraan pelayanan lalu lintas udara Natuna. Rencana tersebut antara lain Rencana Induk dan Langkah Tahapan yang meliputi Airspace Organization and Management, ATC System and Procedures, Fasilitas Pendukung CNS/ATM, dan Air Traffic Management.      

Tidak ada komentar:

 

Sample text

Sample Text

Sample Text