Menteri Perhubungan Ignasius Jonan telah mengeluarkan Peraturan Menteri (PM) No.126 Tahun 2015 sebagai revisi atas PM No.51 Tahun 2014 tentang Mekanisme Formulasi Perhitungan Dan Penetapan Tarif Batas Atas Dan Batas Bawah Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri.
PM No.126 Tahun 2015 telah ditandatangani oleh Menteri Perhubungan pada 24 Agustus 2015 dan diundangkan dalam Lembaran Negara pada 26 Agustus 2015.
Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Suprasetyo menjelaskan, revisi PM No. 51 tahun 2014 sebagai respon atas kondisi perekonomian saat ini yang menyebabkan nilai tukar Rupiah terdepresiasi terhadap Dollar Amerika yang telah lebih dari tiga bulan.
“Kurs mata uang Rupiah telah terdepresiasi terhadap Dollar Amerika secara berturut–turut telah berlangsung lebih dari tiga bulan,” ujar Suprasetyo dalam keterangan pers di Jakarta, Kamis (4/8).
Dampak dari depresiasi rupiah tersebut, kata Suprasetyo menyebabkan harga komponen pesawat menjadi mahal, sehingga biaya operasional pesawat.
“Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar dan harga komponen yang naik berdampak meningkatnya biaya operasional pesawat sebesar 10 persen dan kondisi ini sudah berlangsung selama tiga bulan berturut–turut, sehingga tarif batas atas angkutan udara kelas ekonomi niaga berjadwal harus disesuaikan,” jelas Suprasetyo.
Dalam PM No.126 tahun 2105 disebutkan, tarif penumpang pelayanan kelas ekonomi angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri dihitung berdasarkan komponen tarif jarak, pajak, iuran wajib, dan asuransi, serta dibedakan berdasarkan atas jenis pesawat yaitu propeller dan jet.
Dalam penentuan tarif batas atas angkutan udara kelas ekonomi niaga berjadwal juga dibedakan berdasarkan kelompok pelayanan angkutan udara niaga dalam negeri yaitu full service, medium service dan no frills.
Penerapan tarif 100 persen dari tarif maksimum untuk maskapai yang memberikan pelayanan standar maksimum (full services), penerapan tarif setinggi-tingginya 90 persen dari tarif maksimum untuk maskapai dengan pelayanan standar menengah (medium services), dan penerapan tarif setinggi-tingginya 80 persen dari tarif maksimum, untuk maskapai dengan standar pelayanan minimum (no frills services).
Untuk tarif batas bawah, Kementerian Perhubungan menurunkan dari 40 persen dari tarif batas atas ke 30 persen dari tarif batas atas. “Penurunan ini dilakukan untuk menjaga kelangsungan operasional maskapai, karena daya beli masyarakat yang turun akibat krisis ekonomi,” pungkas Suprasetyo.
sumber: hubud.dephub.go.id
Kamis, 05 November 2015
Selasa, 03 November 2015
Kepatuhan Pada Kebijakan ICAO
Konvensi internasional yang mengatur penerbangan sipil internasional dan telah mengikat 190 negara adalah Convention on International Civil Aviation atau sering dikenal dengan sebutan Konvensi Chicago 1944. Dalam pasal 37 dengan jelas dikatakan, bahwa untuk meningkatkan keamanan dan keselamatan penerbangan negara peserta Konvensi Chicago harus berupaya mengelola penerbangan sipil (personil, pesawat, jalur penerbangan, dan lain-lain) dengan peraturan, standar, prosedur dan organisasi yang sesuai (uniform) dengan standar yang dibuat oleh International Civil Aviation Organization (ICAO). Untuk itu ICAO selalu membuat dan memperbarui Standar and Recommendation Practices (SARPs) yang dituangkan dalam 18 Annexes.
Kebijakan-kebijakan penerbangan yang dibuat oleh suatu negara yang berkaitan dengan keselamatan (safety) dan keamanan (security) harus berdasarkan paradigma-paradigma yang dipakai oleh ICAO yang telah dituangkan dalam 18 Annexes dan berbagai dokumen turunannya. Bila negara tidak bisa mematuhi pasal-pasal tertentu dalam annex tersebut, negara tertentu harus segera memberitahu ICAO untuk kemudian diumumkan melalui lampiran dari Annex terkait (pasal 38). Demikian juga bila ada perubahan atau amandemen Annex yang tidak bisa dipatuhi, maka negara tersebut harus memberitahu ICAO dalam kurun waktu 60 hari setelah pemberlakuan perubahan tersebut.
Apabila suatu negara tidak pernah mengirim perbedaan kepada ICAO, maka berarti negara tersebut harus mematuhi semua standar yang dibuat ICAO. Indonesia termasuk negara yang tidak pernah mengirim nota perbedaan kepada ICAO. Ini berarti Indonesia harus mematuhi semua standar yang telah ditetapkan ICAO.
Bila kebijakan penerbangan yang diterbitkan suatu negara dibuat tanpa paradigma yang benar atau landasan ilmiah yang diakui secara universal dalam dunia penerbangan, maka kebijakan itu secara metodologi tidak dapat dipertanggungjawabkan. Bahkan bisa menjadi bahan tanda tanya dunia internasional.
Untuk mengetahui kepatuhan suatu negara terhadap standar-standar yang telah ditetapkan, ICAO membuat Universal Safety Oversight Audit Program (USOAP) yang dicetuskan pertama kali pada 1 Januari 1999 dalam Resolusi Sidang Umum ICAO No. A31-11 setelah memperhatikan rekomendasi pertemuan para Direktur Jenderal Perhubungan Udara pada 1997. Sedangkan audit yang berkaitan dengan keamanan penerbangan dilanjutkan dengan Universal Security Audit Program (USAP). USOAP dengan pola pendekatan sistematik mulai dilakukan pada 1 Januari 2005 setelah sebelumnya dilakukan audit dengan pola per annex dan bersifat sukarela.
Mengapa ICAO melakukan program USOAP dan USAP? Kepatuhan terhadap standar penerbangan internasional adalah aspek yang sangat fundamental. Meskipun kepatuhan terhadap standar bukan jaminan mutlak tidak akan terjadi kecelakaan, namun penerbangan yang tidak dikelola dengan standar-standar yang telah ditetapkan adalah sangat berbahaya. Penerbangan adalah aktivitas yang sangat sarat dengan peraturan dan prosedur yang ketat.
Hasil audit ICAO merupakan dokumen yang sangat kuat untuk memaksa negara anggota ICAO mematuhi standar-standar keamanan dan keselamatan penerbangan. Hasil audit ini dapat dilihat di website resmi ICAO dan dapat dibaca oleh umum. Dari audit kepatuhan USOAP tersebut, ICAO menemukan 121 butir ketidakpatuhan tentang keselamatan yang perlu dibenahi oleh Indonesia melalui rencana aksi perbaikan (corrective action plan). Sedangkan dari USAP, ditemukan 41 butir ketidakpatuhan dalam aspek keamanan.
Selasa, 13 Oktober 2015
Urgensi Ratifikasi Konvensi Montreal 1999
MANFAAT
Adapun manfaat yang didapat dari meratifikasi Konvensi Montreal 1999 adalah
1. Bagi Penumpang - mengurangi waktu tunggu, menjamin hak-hak penumpang terhadap ganti rugi akibat kecelakaan tanpa perlu membuktikan kelalaian atau kesalahan, dan mempermudah gugatan terhadap maskapai dengan adanya yuridiksi kelima.
2. Bagi pengirim kargo - memfasilitasi penggunaan surat muatan udara elektronik (e-awb), dan mengurangi beban biaya dari dihapusnya penggunaan kertas dokumen.
3. Bagi maskapai - menjamin keseragaman aturan tanggung jawab hukum dalam penerbangan internasional. Proses penanganan klaim, mendapatkan asuransi yang memadai, dan proses litigasi yang dihasilkan dari kecelakaan tidak lagi kompleks.
4. Bagi negara - memodernisasi dan mengharmonisasi aturan yang berhubungan dengan penerbangan internasional, serta memfasilitasi perdagangan yang mulus dengan mitra dagang utama Indonesia.
KONSEKUENSI
Namun, selain manfaat, tentu juga ada konsekuensi dari ratifikasi Konvensi Montreal 1999, yaitu
1. Merevisi ketentuan-ketentuan dalam UU No. 1 tahun 2009 yang berkaitan dengan penerbangan internasional.
2. Wajib untuk tunduk pada segala ketentuan dalam Konvensi Montreal 1999.
3. Maskapai penerbangan nasional wajib mengasuransikan seluruh tanggung jawabnya.
PERBANDINGAN GANTI RUGI
UU
No. 1/2009 jo. PM 77/2011 jo. PM 89/2015
- Keterlambatan
Penerbangan (Pasal 9 PM 89/2015)
a.
Minuman
ringan untuk keterlambatan 30 s.d 60 menit (kategori 1) (huruf a)
b.
Minuman
dan snack box untuk keterlambatan 61
s.d 120 menit (kategori 2) (huruf b)
c. Minuman dan makanan berat untuk
keterlambatan 121 s.d 180 menit (kategori 3) (huruf c)
d. Minuman, snack box, dan makanan berat untuk keterlambatan 181 s.d 240 menit
(kategori 4) (huruf d)
e. Rp. 300.000,- untuk keterlambatan
lebih dari 240 menit (kategori 5) (huruf e)
f. Wajib mengalihkan ke penerbangan
berikutnya atau mengembalikan seluruh tiketnya untuk pembatalan penerbangan
(kategori 6) (huruf f)
g.
Dapat
dialihkan ke penerbangan berikutnya atau dikembalikan seluruh biaya tiketnya
untuk keterlambatan kategori 2 s.d 5 (huruf g)
- Kecelakaan
Pesawat (Pasal 3 PM 77/2011)
a.
Rp.
1.250.000.000,- per penumpang bila meninggal dunia saat flight (huruf a)
b.
Rp.
500.000.000,- per penumpang bila meninggal dunia saat proses embarkasi,
disembarkasi, atau transit (huruf b)
c.
Rp.
1.250.000.000,- per penumpang bila mengakibatkan cacat tetap total (huruf c)
d.
Rp.
200.000.000,- per penumpang bila mengakibatkan luka-luka (huruf e)
- Bagasi
Tercatat (Pasal 5 PM 77/2011)
a.
Rp.
200.000,- per kg atau Rp. 4.000.000,- per penumpang bila hilang atau musnah
(ayat 1 huruf a)
b.
Rp.
200.000,- per hari (paling lama 3 hari kalender) sebagai kompensasi uang tunggu
(ayat 3)
- Kargo
(Pasal 7 PM 77/2011)
a.
Rp.
100.000,- per kg bila hilang atau musnah (huruf a)
b.
Rp.
50.000,- per kg bila rusak sebagian atau seluruh isi kargo (huruf b)
Konvensi Warsawa
1929 (Pasal 22)
-
Keterlambatan
Penerbangan dan Kecelakaan Pesawat
Maksimum
125.000 Franc (ayat 1)
-
Bagasi
Tercatat dan Kargo
250 Franc per kg atau
maksimum 5.000 Franc per penumpang (ayat 2 dan 3)
Konvensi Montreal
1999 [1]
(Revisi per 30 Desember 2009 – ICAO)
- Keterlambatan
Penerbangan (Pasal 22)
SDR
4.694 per penumpang (atau setara dengan Rp. 95.699.000,-) (ayat 1)
- Kecelakaan
Pesawat (Pasal 21)
SDR
113.110 per penumpang bila meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka (atau
setara dengan Rp. 2.305.050.900,-) (ayat 1)
- Bagasi
Tercatat (Pasal 22)
SDR
1.131 per penumpang bila rusak, hilang, musnah, atau terlambat (atau setara
dengan Rp. 23.048.500,-) (ayat 2)
- Kargo
(Pasal 22)
SDR 19 per kg bila rusak, hilang, musnah, atau
terlambat (atau setara dengan Rp. 387.200,- per kg) (ayat 3)
KEPUTUSAN PENGADILAN ASING DI
INDONESIA
Bila
suatu negara ingin mengajukan suatu perkara ke peradilan yang bersifat
internasional, maka persetujuan semua pihak yang bersengketa merupakan suatu
keharusan. Penyelesaian sengketa antar negara melalui peradilan yang bersifat
internasional juga berarti pengurangan kedaulatan negara-negara yang
bersengketa.[2]
Sehingga, setelah dikeluarkan putusan oleh peradilan, setiap negara pihak yang
bersengketa wajib melaksanakan putusan tersebut.
Mengenai
putusan pengadilan asing dapat dieksekusi di Indonesia (melalui pengadilan
Indonesia), hanya apabila diatur dalam undang-undang tersendiri, perjanjian
bilateral ataupun perjanjian multilateral yang mengecualikan berlakunya Pasal
436 Rv.[3]
Satu-satunya
cara untuk mengeksekusi putusan pengadilan asing di Indonesia adalah dengan
menjadikan putusan tersebut sebagai dasar hukum untuk mengajukan gugatan baru
di pengadilan Indonesia. Kemudian, putusan pengadilan asing tersebut oleh
pengadilan Indonesia dapat dijadikan sebagai alat bukti tulisan dengan daya
kekuatan mengikatnya secara kasuistik, yaitu
a.
bisa
bernilai sebagai akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna
dan mengikat, atau
b.
hanya
sebagai fakta hukum yang dinilai secara bebas sesuai dengan pertimbangan hakim.
KESIMPULAN
Sulitnya mempertemukan dua
ketentuan ini bukan saja terjadi di Indonesia, melainkan hampir di seluruh
dunia mengingat dua ketentuan yang berbeda dan terlihat saling bertentangan.
Perlu disadari bagaimana ketentuan dalam pasal 33 ayat 2 Konvensi Montreal 1999
harus dipahami, dimana pengadilan asing yang menerima gugatan dari penduduknya
berdasarkan ketentuan pasal ini harus menimbang mengenai eksekusi putusannya.
Penerimaan terhadap gugatan yang masuk ke pengadilan berdasarkan ketentuan
pasal ini tanpa menimbang eksekusi putusannya, pada akhirnya akan berdampak
pada gugatan yang sia-sia.
Salah satu alasan pemerintah
belum meratifikasi Konvensi Montreal 1999 karena memungkinkan penumpang untuk
menggugat maskapai penerbangan berdasarkan status kependudukannya. Apabila
alasannya terkait nilai kompensasi, maskapai Indonesia diyakini siap memberikan
kompensasi yang sesuai dengan ketentuan Konvensi Montreal karena hal itu juga
merupakan salah satu daya tawar maskapai. Oleh karenanya, ratifikasi Konvensi
Montreal 1999 tidak akan saling bertabrakan dengan ketentuan hukum nasional
manakala akan diberlakukan di Indonesia, sehingga dapat mendorong maskapai
penerbangan nasional untuk memenuhi standar internasional yang ada.
REKOMENDASI
1.
Pemerintah
membenahi peraturan perundang-undangan yang bersinergi dengan Konvensi Montreal
1999.
2.
Pemerintah
perlu membenahi tata kelola transportasi penerbangan, karena semakin tingginya
kebutuhan masyarakat terhadap transportasi udara saat ini.
3.
Pemerintah
meratifikasi konvensi untuk merampingkan dan meningkatkan efisiensi
transportasi udara khususnya penerbangan internasional dengan memberikan
kompensasi yang merata.
4.
Pemerintah
bekerjasama dengan maskapai penerbangan mengembangkan strategi dan komunikasi untuk
bersama-sama menyoroti manfaat dari ratifikasi bagi Indonesia.
5. Otoritas Penerbangan Sipil Indonesia, dalam hal
ini Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, harus berupaya meningkatkan standar
mereka dengan pelatihan internasional, terutama dalam hal aspek teknis
operasional.
[1] Pasal 23 ayat 1 Konvensi Montreal: “nilai mata uang nasional (Rp.) pada satu negara anggota IMF berdasarkan syarat SDR, harus dihitung berdasarkan metode valuasi yang diterapkan oleh IMF”.
*) 1 Rupiah = 0.0000490705 SDR (currency per 21 September 2015), sumber: https://imf.org
[2] Dr. Boer Mauna, Hukum Internasional, Hal. 25.
[3]
Pasal 436 ayat 1 RV: “Kecuali seperti ditentukan dalam
pasal 724 dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan lain-lain ketentuan
perundang-undangan, keputusan-keputusan yang diberikan oleh badan-badan
peradilan luar negeri, tidak dapat dieksekusi (dilaksanakan) di Indonesia”.
Selasa, 07 Juli 2015
Kronologis Jatuhnya Pesawat Lockheed C-130 Hercules
Senin, 29 Juni 2015
Pesawat Hercules C-130 bernomor A-1310 terbang dari Malang ke Lanud Halim Perdanakusuma untuk misi penerbangan angkutan udara militer (PAUM).
Selasa, 30 Juni 2015
06.00 Kondisi pesawat tambun buatan 1964 baik-baik saja saat memulai penerbangan dari Lanud
Halim Perdanakusuma, Jakarta menuju Lanud Roesmin Nurjadin, Pekanbaru.
07.00 Terbang dari Lanud Roesmin Nurjadin, Pekanbaru menuju Lanud Dumai.
08.00 Take off dari Lanud Dumai menuju Lanud Soewondo, Medan - membawa 10 personel
Paskhas 462/Pulanggeni.
menuju Tanjung Pinang, Kepulauan Riau
11.50 Saat komunikasi dari bandara akan dialihkan ke menara Medan Approach Control (APP),
pilot meminta kembali ke pangkalan (return to base/ RTB). Jamaknya, kode itu disampaikan
bila pesawat mengalami gangguan setelah lepas landas. Saksi mata melihat pesawat terbang
rendah dengan asap mengepul dari sayap kiri.
Belum sempat dibalas oleh menara, pesawat berbelok ke kanan lalu menabrak menara
komunikasi yang terpancang di atas gedung sekolah Bethany Medan milik Joy FM. pesawat
kemudian menukik.
12.00 Pesawat menubruk pemukiman antara panti pijat tradisional, ruko-ruko dan perumahan elite
Royal Residence di Jalan Jamin Ginting KM 10, Padang Bulan, Medan. Lokasi jatuh sekitar
5 kilometer dari Lanud Soewondo. Pesawat menimpa bangunan dalam keadaan terbalik dan
terbakar.
12.08 Mabes TNI menyatakan pesawat Hercules TNI AU mengalami kecelakaan.
Korban : 12 kru (1 pilot, 2 co-pilot, 1 navigator, 8 teknisi)
101 penumpang
Senin, 06 Juli 2015
Kemenhub Rilis Daftar Maskapai Yang Keuangannya Negatif
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) telah menerima laporan keuangan maskapai berjadwal, carter, dan kargo untuk 2014. Sesuai Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, perusahaan angkutan udara diwajibkan melaporkan laporan keuangannya pada akhir April setiap tahunnya.
Dari laporan keuangan yang masuk hingga 30 Juni 2015, Kemenhub mencatat ada 13 maskapai yang memiliki laporan keuangan negatif sepanjang 2014.
"Penanganan equity (modal) negatif ini yang menentukan kantor Akuntan Publik independen, Jadi kalau kurang Rp 1.000 pun dia dikatakan negatif, dia bisa dikatakan positif bila telah diadakan penyuntikan dana. Keseluruhannya ada 13 maskapai," kata Direktur Angkutan Udara (DirAngud) Kemenhub Muhamad Alwi di kantor Kemenhub, Jakarta, Kamis (2/7/2015).
Dari 13 maskapai tersebut, Alwi menyebut setidaknya ada 2 maskapai besar. Dalam data tersebut, ada maskapai yang modalnya negatif Rp 150 miliar hingga triliunan rupiah. Kemenhub, kata Alwi, memberi batas waktu 1 bulan ke depan untuk menyuntikan modal kerja agar menjadi positif. Bila lewat 31 Juli 2015, Kemenhub akan menjatuhkan sanksi tegas berupa pembekuan izin operasi.
"Kalau lewat maka 1 Agustus kita suspend (bekukan) izin usaha. Kalau izin usaha dibekukan, ya semuanya nggak bisa operasi," ujarnya.
Laporan modal negatif, kata Alwi, harus menjadi perhatian khusus. Karena berpotensi pada pengabaian aspek keselamatan hingga pelayanan, bila modal kerja negatif. Sebab, maskapai harus memiliki modal untuk membiayai operasional rutin.
"Justru kalau minus ke safety takut menggerogoti terhadap safety. Itu masalahnya. Kita nggak ingin tiba-tiba sekarang sehat terus minggu depan kolaps. Itu bisa terjadi. Kayak Batavia. Ini nggak terjadi maka harus diurus dari depan," ujarnya.
- Indonesia AirAsia
- Batik Air
- Trans Wisata Prima Aviation
- Istindo Services
- Survei Udara Penas
- Air Pasifik Utama
- John Lin Air Transport
- Asialink Cargo Airline
- Ersa Eastern Aviation
- Tri MG Intra
- Nusantara Buana
- Manuggal Air
- Cardig Air
Izin 9 Maskapai Penerbangan Terancam Dicabut
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) merilis daftar 9 maskapai penerbangan berjadwal dan carter yang belum memenuhi standar minimum kepemilikan pesawat. Hal ini telah diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Batas ketentuan pelaporan regulasi kepemilikan akhir Juni 2015 atau tinggal 1 hari lagi. Bagi perusahaan yang belum memenuhi standar minimal maka terancam dicabut izin usaha penerbangan.
"Sampai saat ini ada sekitar 9 maskapai yang belum comply (patuh). Ini campur baik berjadwal dan tidak berjadwal," kata Direktur Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKUPPU) Kemenhub Muzaffar Ismail di Gedung Kemenhub, Jakarta, Senin (29/06/2015).
Dari 9 maskapai tersebut, Muzaffar menyebut angkutan udara tidak berjadwal alias penerbangan carter cukup mendominasi. Syarat kepemilikan minimal yang diatur dalam UUP adalah 5 pesawat dimiliki dan 5 pesawat berstatus sewa alias leasing untuk maskapai berjadwal, serta 1 pesawat dimiliki dan 2 pesawat berstatus sewa untuk maskapai carter.
"Yang tidak memenuhi, teman-teman maskapai kami undang. Rencananya besok hari terakhir," ujarnya.
Ia mengatakan sebanyak 9 maskapai penerbangan bakal dipanggil. Kemenhub masih memberi kelonggaran hingga 1 Agustus 2015 agar maskapai tersebut mampu memenuhi batas minimum kepemilikan. Namun syarat dari toleransi adalah adanya rencana bisnis yang jelas.
"Makanya dikasih waktu sebulan supaya bisa terpenuhi. Satu bulan, tidak bisa memenuhi maka izin usaha akan dicabut. Peraturan Peraturan Menterinya-nya begitu," ujarnya.
Kamis, 12 Februari 2015
Ruang Udara dan Wilayah Udara Nasional (Bagian 2)
Teori Kedaulatan Negara Di Ruang Udara
Eksistensi horisontal wilayah udara suatu negara mengikuti batas-batas wilayah teritorial darat dan lautan yang mengikuti batas-batas wilayah teritorial permukaan negara yang pada dasarnya telah ditetapkan secara mantap, baik dalam hukum nasional maupun internasional. Tidak demikian halnya dalam menentukan batas vertikal wilayah kedaulatan negara di udara. Hal ini bukan saja karena hukum nasional kita belum mempunyaikonsepsi tegas, namun hukum internasional pun belum menetapkan secara jelas dimana batas akhir ketinggian dari ruang udara atau wilayah udara (air space).
Dalam hal ini yang menjadi permasalahan adalah bahwa Konvensi Chicago tidak pernah memberikan pengertian atau definisi apa yang dimaksud dengan air space, sehingga timbul penafsiran yang berbeda-beda. Secara pokok ada 2 teori utama yang ada dalam menafsirkan batas vertikal dari ruang udara, yaitu teori spatialist yang menghendaki agar batas-batas kedaulatan ditentukan dengan membagi secara tegas antara air space (ruang udara) dan outer space (ruang angkasa) dan teori fungsional yang menentang pembagian ruang udara dengan antariksa secara spatial (dikotak-kotakkan menurut ruang). Teori fungsional lebih lanjut berpandangan bahwa ruang udara dan ruang angkasa adalah satu kesimbunangan yang tak terpisahkan.
Teori Spatialist
a. Teori Hukum Keppler, teori yang menetapkan garis ketinggian 85 km sebagai batas tertinggi ruang udara, karena pada garis ini hukum aerodinamika bagi pesawat udara berhenti bekerja dan gerakan selanjutnya dikuasai hukum tenaga keppler.
b. Teori Gaya Tarik Bumi : Joseph Kroell menyarankan batas kedaulatan ditetapkan pada ketinggian dimana tidak ada lagi terdapat gaya berat (eight ceases its manifestation). Teori ini sejalan dengan pendapat ahli hukum internasional yang lain, yaitu Ambrosini.
b. Teori Gaya Tarik Bumi : Joseph Kroell menyarankan batas kedaulatan ditetapkan pada ketinggian dimana tidak ada lagi terdapat gaya berat (eight ceases its manifestation). Teori ini sejalan dengan pendapat ahli hukum internasional yang lain, yaitu Ambrosini.
c. Teori Penguasaan
Efektif : Teori altitude of effective
control ini diajukan oleh Cooper. Berdasarkan teori ini maka batas
kedaulatan negara harus ditentukan sesuai dengan batas vertikal kemampuan
negara untuk mengontrol ruang udaranya. Teori ini sejalan dengan pendapat ahli
hukum internasional yang lain, yaitu Taubenfield yang mengatakan bahwa “sovereignty is limited to the altitudes at
which the state can effectively control event”.
d. Teori Keamanan Negara, teori yang menghendaki agar batas ketinggian kedaulatan negara di udara ditetapkan atas dasar adanya jaminan bagi keamanan negara. Teori ini dikembangkan oleh ahli Rusia seperti Zhukov dan Koresky.
d. Teori Keamanan Negara, teori yang menghendaki agar batas ketinggian kedaulatan negara di udara ditetapkan atas dasar adanya jaminan bagi keamanan negara. Teori ini dikembangkan oleh ahli Rusia seperti Zhukov dan Koresky.
e. Teori Ketinggian (Ad Infinitum), teori yang menentukan bahwa ruang udara adalah tak terbatas, maka dimensi vertikalnya pun tak terbatas. Kedaulatan bebas ditarik ke atas sejauh ia dapat mengisi dimensi ruang tersebut (ad infinitum).
f. Teori Ruang Udara Schachter, teori ini mengatakan bahwa kedaulatan negara di ruang udara hanya terbatas pada daerah udara dimana dapat dilakukan penerbangan dengan pesawat udara yang dikemudikan oleh manusia (navigable air space) yang kini dapat mencapai ketinggian terbang sampai kira-kira 20 mil dan di kemudian hari mungkin sampai ketinggian 40 mil.
Konvensi Chicago 1944 tentang Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (Convention on International Civil Aviation Organization / ICAO, ditandatangani di Chicago pada 7 Desember 1944) merupakan salah satu tiang pokok hukum internasional yang mengatur ruang atau wilayah udara (airspace). Hal tersebut diatur di dalam Pasal 1 bahwa, setiap negara pihak mengakui bahwa setiap negara anggota mempunyai kedaulatan penuh dan utuh atas ruang udara di atas wilayahnya. Yang dimaksud dengan wilayah (territory) berdasarkan Pasal 2 adalah bagian darat (land areas) dan perairan teritorial (territorial waters) yang berbatasan dengannya yang berada dibawah kedaulatan kekuasaan, perlindungan atau mandat dari negara itu.
Teori Fungsional
Teori fungsional ini
dikenal pula sebagai teori logika juridis. Dalam penafsiran ini diteliti asal
usul penggunaan istilah airspace dan
pengertian aircraft dalam lampiran (annexes) 8, 9, dan 10 Konvensi Chicago
1944. Pada lampiran ini, pesawat udara (aircraft)
dinyatakan bahwa “any machine which can
derive support in the atmosphere from the reaction of the air. Other than from
the reaction of the earth’s surface”. Jadi pengertian pesawat udara disini adalah
setiap pesawat yang memiliki tenaga (power)
untuk bergerak di ruang udara atau di atmosfer, karena memperoleh reaksi udara
kepadanya, dan reaksi ini bukan reaksi dari permukaan bumi.
Dengan demikian,
penafsiran secara logika juridis ini dapat ditarik kesimpulan bahwa ruang udara
(airspace) menurut pengertian Pasal 1
Konvensi Chicago 1944 adalah jalur ruang udara di atmosfer yang berisikan cukup
udara dimana pesawat udara dapat bergerak karena reaksi udara terhadapnya
sehingga mendapat gaya angkat (lift).
Kemudian jarak
ketinggian kedaulatan negara di atmosfer akan ditentukan oleh kesanggupan
pesawat udara mencapai ketinggian yang ditentukan (ceiling). Dengan demikian, teori ini mengajurkanagar membagi rezim
hukum udara dan hukum ruang angkasa berdasarkan fungsi dari alat penerbangan
yang digunakan. Jikalau alat penerbangan tersebut berupa pesawat udara (aircraft), maka media ruang dimana ia
bergerak dikuasai oleh hukum udara (air
law), dimana prinsip kedaulatan negara di udara berlaku secara penuh dan
utuh (complete and exclusive).
Namun bila alat
penerbangan berupa pesawat ruang angkasa (spacecraft),
maka media ruang dimana ia bergerak berada dibawah hukum ruang angkasa (space law), dimana berlaku asas
kebebasan mempergunakan ruang angkasa dan asas non-appropriation. Termasuk
sebagai kriteria fungsi pesawat ruang angkasa / antariksa adalah pesawat
tersebut benar-benar dimaksudkan untuk diluncurkan dalam orbit bumi atau
wilayah antariksa lainnya, termasuk benda-benda langit.
Konvensi Chicago 1944 tentang Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (Convention on International Civil Aviation Organization / ICAO, ditandatangani di Chicago pada 7 Desember 1944) merupakan salah satu tiang pokok hukum internasional yang mengatur ruang atau wilayah udara (airspace). Hal tersebut diatur di dalam Pasal 1 bahwa, setiap negara pihak mengakui bahwa setiap negara anggota mempunyai kedaulatan penuh dan utuh atas ruang udara di atas wilayahnya. Yang dimaksud dengan wilayah (territory) berdasarkan Pasal 2 adalah bagian darat (land areas) dan perairan teritorial (territorial waters) yang berbatasan dengannya yang berada dibawah kedaulatan kekuasaan, perlindungan atau mandat dari negara itu.
Pesawat Latih Terbakar, Sejumlah Jadwal Penerbangan di Batam Delay
Sejumlah jadwal penerbangan di Bandara Hang Nadim, Batam, sempat mengalami penundaan (delay) akibat insiden pesawat latih yang jatuh dan terbakar. Saat ini jadwal penerbangan sudah kembali normal, dan penumpang sudah tidak lagi menunggu keberangkatan.
"Sudah nggak ada apa-apa, sudah normal. Ini saya sudah mau masuk pesawat," ujar salah seorang penumpang di Bandara Hang Nadim, Idham yang akan terbang menuju Jakarta, Selasa (10/2/2015) pada pukul 16.35 WIB.
Sebelumnya penumpang lain di Bandara Hang Nadim, Dwi harus menunggu lama setelah penerbangannya ke Pontianak pada pukul 12.00 WIB ditunda. Ia menyatakan ratusan orang pun terpaksa harus menunggu.
"Bandara ditutup sekitar dua jam. Akibatnya belasan pesawat ditunda mendarat dan terbang. Sehingga ratusan penumpang harus sabar menunggu keberangkatan," tulis Dwi yang merupakan pembaca detikcom.
Pesawat latih milik Flybest Flight jatuh dan terbakar di 17 meter dari runway Bandara pagi tadi sekitar pukul 10.00 WIB. Pilot pesawat jenis Cessna 152 PK-FKB tersebut, Sean Calper (19) yang terbang dari Solo sejak pukul 07.00 WIB selamat karena langsung keluar sebelum api membesar.
Langganan:
Postingan (Atom)