Pages

Ads 468x60px

Selasa, 03 November 2015

Kepatuhan Pada Kebijakan ICAO

Konvensi internasional yang mengatur penerbangan sipil internasional dan telah mengikat 190 negara adalah Convention on International Civil Aviation atau sering dikenal dengan sebutan Konvensi Chicago 1944. Dalam pasal 37 dengan jelas dikatakan, bahwa untuk meningkatkan keamanan dan keselamatan penerbangan negara peserta Konvensi Chicago harus berupaya mengelola penerbangan sipil (personil, pesawat, jalur penerbangan, dan lain-lain) dengan peraturan, standar, prosedur dan organisasi yang sesuai (uniform) dengan standar yang dibuat oleh International Civil Aviation Organization (ICAO). Untuk itu ICAO selalu membuat dan memperbarui Standar and Recommendation Practices (SARPs) yang dituangkan dalam 18 Annexes. 
 
Kebijakan-kebijakan penerbangan yang dibuat oleh suatu negara yang berkaitan dengan keselamatan (safety) dan keamanan (security) harus berdasarkan paradigma-paradigma yang dipakai oleh ICAO yang telah dituangkan dalam 18 Annexes dan berbagai dokumen turunannya. Bila negara tidak bisa mematuhi pasal-pasal tertentu dalam annex tersebut, negara tertentu harus segera memberitahu ICAO untuk kemudian diumumkan melalui lampiran dari Annex terkait (pasal 38). Demikian juga bila ada perubahan atau amandemen Annex yang tidak bisa dipatuhi, maka negara tersebut harus memberitahu ICAO dalam kurun waktu 60 hari setelah pemberlakuan perubahan tersebut.
 
Apabila suatu negara tidak pernah mengirim perbedaan kepada ICAO, maka berarti negara tersebut harus mematuhi semua standar yang dibuat ICAO. Indonesia termasuk negara yang tidak pernah mengirim nota perbedaan kepada ICAO. Ini berarti Indonesia harus mematuhi semua standar yang telah ditetapkan ICAO. 
 
Bila kebijakan penerbangan yang diterbitkan suatu negara dibuat tanpa paradigma yang benar atau landasan ilmiah yang diakui secara universal dalam dunia penerbangan, maka kebijakan itu secara metodologi tidak dapat dipertanggungjawabkan. Bahkan bisa menjadi bahan tanda tanya dunia internasional.
 
Untuk mengetahui kepatuhan suatu negara terhadap standar-standar yang telah ditetapkan, ICAO membuat Universal Safety Oversight Audit Program (USOAP) yang dicetuskan pertama kali pada 1 Januari 1999 dalam Resolusi Sidang Umum ICAO No. A31-11 setelah memperhatikan rekomendasi pertemuan para Direktur Jenderal Perhubungan Udara pada 1997. Sedangkan audit yang berkaitan dengan keamanan penerbangan dilanjutkan dengan Universal Security Audit Program (USAP). USOAP dengan pola pendekatan sistematik mulai dilakukan pada 1 Januari 2005 setelah sebelumnya dilakukan audit dengan pola per annex dan bersifat sukarela.     

Mengapa ICAO melakukan program USOAP dan USAP? Kepatuhan terhadap standar penerbangan internasional adalah aspek yang sangat fundamental. Meskipun kepatuhan terhadap standar bukan jaminan mutlak tidak akan terjadi kecelakaan, namun penerbangan yang tidak dikelola dengan standar-standar yang telah ditetapkan adalah sangat berbahaya. Penerbangan adalah aktivitas yang sangat sarat dengan peraturan dan prosedur yang ketat.

Hasil audit ICAO merupakan dokumen yang sangat kuat untuk memaksa negara anggota ICAO mematuhi standar-standar keamanan dan keselamatan penerbangan. Hasil audit ini dapat dilihat di website resmi ICAO dan dapat dibaca oleh umum. Dari audit kepatuhan USOAP tersebut, ICAO menemukan 121 butir ketidakpatuhan tentang keselamatan yang perlu dibenahi oleh Indonesia melalui rencana aksi perbaikan (corrective action plan). Sedangkan dari USAP, ditemukan 41 butir ketidakpatuhan dalam aspek keamanan.   

Tidak ada komentar:

 

Sample text

Sample Text

Sample Text