MANFAAT
Adapun manfaat yang didapat dari meratifikasi Konvensi Montreal 1999 adalah
1. Bagi Penumpang - mengurangi waktu tunggu, menjamin hak-hak penumpang terhadap ganti rugi akibat kecelakaan tanpa perlu membuktikan kelalaian atau kesalahan, dan mempermudah gugatan terhadap maskapai dengan adanya yuridiksi kelima.
2. Bagi pengirim kargo - memfasilitasi penggunaan surat muatan udara elektronik (e-awb), dan mengurangi beban biaya dari dihapusnya penggunaan kertas dokumen.
3. Bagi maskapai - menjamin keseragaman aturan tanggung jawab hukum dalam penerbangan internasional. Proses penanganan klaim, mendapatkan asuransi yang memadai, dan proses litigasi yang dihasilkan dari kecelakaan tidak lagi kompleks.
4. Bagi negara - memodernisasi dan mengharmonisasi aturan yang berhubungan dengan penerbangan internasional, serta memfasilitasi perdagangan yang mulus dengan mitra dagang utama Indonesia.
KONSEKUENSI
Namun, selain manfaat, tentu juga ada konsekuensi dari ratifikasi Konvensi Montreal 1999, yaitu
1. Merevisi ketentuan-ketentuan dalam UU No. 1 tahun 2009 yang berkaitan dengan penerbangan internasional.
2. Wajib untuk tunduk pada segala ketentuan dalam Konvensi Montreal 1999.
3. Maskapai penerbangan nasional wajib mengasuransikan seluruh tanggung jawabnya.
PERBANDINGAN GANTI RUGI
UU
No. 1/2009 jo. PM 77/2011 jo. PM 89/2015
- Keterlambatan
Penerbangan (Pasal 9 PM 89/2015)
a.
Minuman
ringan untuk keterlambatan 30 s.d 60 menit (kategori 1) (huruf a)
b.
Minuman
dan snack box untuk keterlambatan 61
s.d 120 menit (kategori 2) (huruf b)
c. Minuman dan makanan berat untuk
keterlambatan 121 s.d 180 menit (kategori 3) (huruf c)
d. Minuman, snack box, dan makanan berat untuk keterlambatan 181 s.d 240 menit
(kategori 4) (huruf d)
e. Rp. 300.000,- untuk keterlambatan
lebih dari 240 menit (kategori 5) (huruf e)
f. Wajib mengalihkan ke penerbangan
berikutnya atau mengembalikan seluruh tiketnya untuk pembatalan penerbangan
(kategori 6) (huruf f)
g.
Dapat
dialihkan ke penerbangan berikutnya atau dikembalikan seluruh biaya tiketnya
untuk keterlambatan kategori 2 s.d 5 (huruf g)
- Kecelakaan
Pesawat (Pasal 3 PM 77/2011)
a.
Rp.
1.250.000.000,- per penumpang bila meninggal dunia saat flight (huruf a)
b.
Rp.
500.000.000,- per penumpang bila meninggal dunia saat proses embarkasi,
disembarkasi, atau transit (huruf b)
c.
Rp.
1.250.000.000,- per penumpang bila mengakibatkan cacat tetap total (huruf c)
d.
Rp.
200.000.000,- per penumpang bila mengakibatkan luka-luka (huruf e)
- Bagasi
Tercatat (Pasal 5 PM 77/2011)
a.
Rp.
200.000,- per kg atau Rp. 4.000.000,- per penumpang bila hilang atau musnah
(ayat 1 huruf a)
b.
Rp.
200.000,- per hari (paling lama 3 hari kalender) sebagai kompensasi uang tunggu
(ayat 3)
- Kargo
(Pasal 7 PM 77/2011)
a.
Rp.
100.000,- per kg bila hilang atau musnah (huruf a)
b.
Rp.
50.000,- per kg bila rusak sebagian atau seluruh isi kargo (huruf b)
Konvensi Warsawa
1929 (Pasal 22)
-
Keterlambatan
Penerbangan dan Kecelakaan Pesawat
Maksimum
125.000 Franc (ayat 1)
-
Bagasi
Tercatat dan Kargo
250 Franc per kg atau
maksimum 5.000 Franc per penumpang (ayat 2 dan 3)
Konvensi Montreal
1999 [1]
(Revisi per 30 Desember 2009 – ICAO)
- Keterlambatan
Penerbangan (Pasal 22)
SDR
4.694 per penumpang (atau setara dengan Rp. 95.699.000,-) (ayat 1)
- Kecelakaan
Pesawat (Pasal 21)
SDR
113.110 per penumpang bila meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka (atau
setara dengan Rp. 2.305.050.900,-) (ayat 1)
- Bagasi
Tercatat (Pasal 22)
SDR
1.131 per penumpang bila rusak, hilang, musnah, atau terlambat (atau setara
dengan Rp. 23.048.500,-) (ayat 2)
- Kargo
(Pasal 22)
SDR 19 per kg bila rusak, hilang, musnah, atau
terlambat (atau setara dengan Rp. 387.200,- per kg) (ayat 3)
KEPUTUSAN PENGADILAN ASING DI
INDONESIA
Bila
suatu negara ingin mengajukan suatu perkara ke peradilan yang bersifat
internasional, maka persetujuan semua pihak yang bersengketa merupakan suatu
keharusan. Penyelesaian sengketa antar negara melalui peradilan yang bersifat
internasional juga berarti pengurangan kedaulatan negara-negara yang
bersengketa.[2]
Sehingga, setelah dikeluarkan putusan oleh peradilan, setiap negara pihak yang
bersengketa wajib melaksanakan putusan tersebut.
Mengenai
putusan pengadilan asing dapat dieksekusi di Indonesia (melalui pengadilan
Indonesia), hanya apabila diatur dalam undang-undang tersendiri, perjanjian
bilateral ataupun perjanjian multilateral yang mengecualikan berlakunya Pasal
436 Rv.[3]
Satu-satunya
cara untuk mengeksekusi putusan pengadilan asing di Indonesia adalah dengan
menjadikan putusan tersebut sebagai dasar hukum untuk mengajukan gugatan baru
di pengadilan Indonesia. Kemudian, putusan pengadilan asing tersebut oleh
pengadilan Indonesia dapat dijadikan sebagai alat bukti tulisan dengan daya
kekuatan mengikatnya secara kasuistik, yaitu
a.
bisa
bernilai sebagai akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna
dan mengikat, atau
b.
hanya
sebagai fakta hukum yang dinilai secara bebas sesuai dengan pertimbangan hakim.
KESIMPULAN
Sulitnya mempertemukan dua
ketentuan ini bukan saja terjadi di Indonesia, melainkan hampir di seluruh
dunia mengingat dua ketentuan yang berbeda dan terlihat saling bertentangan.
Perlu disadari bagaimana ketentuan dalam pasal 33 ayat 2 Konvensi Montreal 1999
harus dipahami, dimana pengadilan asing yang menerima gugatan dari penduduknya
berdasarkan ketentuan pasal ini harus menimbang mengenai eksekusi putusannya.
Penerimaan terhadap gugatan yang masuk ke pengadilan berdasarkan ketentuan
pasal ini tanpa menimbang eksekusi putusannya, pada akhirnya akan berdampak
pada gugatan yang sia-sia.
Salah satu alasan pemerintah
belum meratifikasi Konvensi Montreal 1999 karena memungkinkan penumpang untuk
menggugat maskapai penerbangan berdasarkan status kependudukannya. Apabila
alasannya terkait nilai kompensasi, maskapai Indonesia diyakini siap memberikan
kompensasi yang sesuai dengan ketentuan Konvensi Montreal karena hal itu juga
merupakan salah satu daya tawar maskapai. Oleh karenanya, ratifikasi Konvensi
Montreal 1999 tidak akan saling bertabrakan dengan ketentuan hukum nasional
manakala akan diberlakukan di Indonesia, sehingga dapat mendorong maskapai
penerbangan nasional untuk memenuhi standar internasional yang ada.
REKOMENDASI
1.
Pemerintah
membenahi peraturan perundang-undangan yang bersinergi dengan Konvensi Montreal
1999.
2.
Pemerintah
perlu membenahi tata kelola transportasi penerbangan, karena semakin tingginya
kebutuhan masyarakat terhadap transportasi udara saat ini.
3.
Pemerintah
meratifikasi konvensi untuk merampingkan dan meningkatkan efisiensi
transportasi udara khususnya penerbangan internasional dengan memberikan
kompensasi yang merata.
4.
Pemerintah
bekerjasama dengan maskapai penerbangan mengembangkan strategi dan komunikasi untuk
bersama-sama menyoroti manfaat dari ratifikasi bagi Indonesia.
5. Otoritas Penerbangan Sipil Indonesia, dalam hal
ini Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, harus berupaya meningkatkan standar
mereka dengan pelatihan internasional, terutama dalam hal aspek teknis
operasional.
*) 1 Rupiah = 0.0000490705 SDR (currency per 21 September 2015), sumber: https://imf.org
[2] Dr. Boer Mauna, Hukum Internasional, Hal. 25.
[3]
Pasal 436 ayat 1 RV: “Kecuali seperti ditentukan dalam
pasal 724 dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan lain-lain ketentuan
perundang-undangan, keputusan-keputusan yang diberikan oleh badan-badan
peradilan luar negeri, tidak dapat dieksekusi (dilaksanakan) di Indonesia”.