Prinsip pokok kedaulatan negara di wilayah udara telah diatur dalam Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional (Convention On International Civil Aviation, signed at Chicago on December 7, 1944) yang berbunyi "the contracting states recognizing that every state has complete and exclusive sovereignty over the airspace above is territory". Ketentuan ini mengatur salah satu tiang pokok hukum internasional yang mengatur ruang atau wilayah udara (airspace).
Prinsip pokok kedaulatan negara di ruang udara sebagaimana dimaksud Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 tersebut dinyatakan dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia.
Pada penjelasan Pasal 5 UU No. 1 Tahun 2009 dinyatakan bahwa sebagai negara berdaulat, Indonesia memiliki kedaulatan penuh dan utuh di wilayah udara Republik Indonesia yang sesuai dengan ketentuan Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional. Ketentuan dalam pasal ini hanya menugaskan mengenai kewenangan dan tanggung jawab negara Republik Indonesia untuk mengatur penggunaan wilayah udara yang merupakan bagian dari wilayah dirgantara Indonesia.
Prinsip pokok kedaulatan negara di ruang udara sebagaimana dimaksud Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 tersebut dinyatakan dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia.
Pada penjelasan Pasal 5 UU No. 1 Tahun 2009 dinyatakan bahwa sebagai negara berdaulat, Indonesia memiliki kedaulatan penuh dan utuh di wilayah udara Republik Indonesia yang sesuai dengan ketentuan Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional. Ketentuan dalam pasal ini hanya menugaskan mengenai kewenangan dan tanggung jawab negara Republik Indonesia untuk mengatur penggunaan wilayah udara yang merupakan bagian dari wilayah dirgantara Indonesia.
Sifat kedaulatan yang utuh dan eksklusif dari negara di wilayah udara nasional tersebut berbeda misalnya dengan sifat kedaulatan Negara di laut wilayah. Karena sifatnya yang demikian, maka di ruang udara nasional tidak dikenal hak lintas damai (innocent passage) pihak asing seperti terdapat di laut teritorial suatu negara. Ruang udara nasional suatu negara sepenuhnya tertutup bagi pesawat udara asing, baik sipil maupun militer. Hanya dengan ijin negara kolong terlebih dahulu, baik melalui perjanjian multilateral ataupun bilateral, maka ruang udara nasional dapat dilalui oleh pesawat udara asing.
Sifat tertutup yang demikian itu dapat dipahami mengingat ruang udara sebagai media gerak sangatlah rawan ditinjau dari segi pertahanan keamanan negara kolong. Karena serangan-serangan dengan menggunakan pesawat udara banyak memiliki keuntungan dan kemudahan, seperti sifatnya yang cepat (speed), jangkauan (range) yang luas, pendadakan (surprise), penyusupan (penetration) yang dapat dilakukan dengan optimal. Hal inilah yang mendorong setiap negara mengenakan standar penjagaan ruang udara nasionalnya secara ketat dan kaku. Dari prinsip kedaulatan negara di wilayah udara sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 di atas, ada 2 hal yang penting untuk dilakukan pembahasan dan pemahaman, yaitu: (1) Complete and exclusive (penuh dan utuh), dan (2) Airspace (ruang udara/wilayah udara).
Dari kata complete and exclusive yang terdapat dalam Pasal 1 ini menimbulkan pertanyaan: "Apakah kedaulatan negara di wilayah udaranya dapat dilaksanakan secara penuh dan utuh tanpa memperhatikan kepentingan negara-negara lain?". Pada prinsipnya, setiap negara itu di dalam wilayah kedaulatannya mempunyai hak untuk menjalankan dan memaksakan serta menyelesaikan perkara-perkara yang terjadi atas orang-orang, benda-benda dan berbagai permasalahan lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan nasionalnya. Namun kekuasaan tersebut tidaklah begitu absolut sehingga tidak dapat begitu saja mengesampingkan kepentingan negara-negara lain.
Oleh karena itu, kedaulatan yang penuh dan utuh tersebut juga harus menghormati ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam hukum internasional sebagai kesepakatan bangsa-bangsa. Sebagai contoh, "Bagaimana mengambil tindakan koreksi atas pelanggaran wilayah udara dan bagaimana selanjutnya tata cara dalam melakukan penyergapan?". Dalam hal ini harus memperhatikan ketentuan hukum internasional, khususnya Attachment dari Annex 2 Rule of the Air. Dalam hal ini dikenal pula adanya asas pertimbangan kemanusiaan yang mendasar (elementary considerations of humanity), dimana secara tegas telah dinyatakan sebagai asas yang selalu harus melandasi tindakan-tindakan negara dalam menghadapi pelanggaran wilayah udaranya oleh pesawat udara sipil asing. Sebagaimana telah diketahui bahwa pelanggaran wilayah udara (aerial instrusion) adalah suatu keadaan dimana pesawat udara lain tanpa ijin sebelumnya dari negara yang wilayahnya dimasuki pesawat udara asing tersebut.
Oleh karena itu, kedaulatan yang penuh dan utuh tersebut juga harus menghormati ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam hukum internasional sebagai kesepakatan bangsa-bangsa. Sebagai contoh, "Bagaimana mengambil tindakan koreksi atas pelanggaran wilayah udara dan bagaimana selanjutnya tata cara dalam melakukan penyergapan?". Dalam hal ini harus memperhatikan ketentuan hukum internasional, khususnya Attachment dari Annex 2 Rule of the Air. Dalam hal ini dikenal pula adanya asas pertimbangan kemanusiaan yang mendasar (elementary considerations of humanity), dimana secara tegas telah dinyatakan sebagai asas yang selalu harus melandasi tindakan-tindakan negara dalam menghadapi pelanggaran wilayah udaranya oleh pesawat udara sipil asing. Sebagaimana telah diketahui bahwa pelanggaran wilayah udara (aerial instrusion) adalah suatu keadaan dimana pesawat udara lain tanpa ijin sebelumnya dari negara yang wilayahnya dimasuki pesawat udara asing tersebut.